48. new doll!

6.9K 462 61
                                    

"Dy ..., Dylan ...."

Dia segera ambruk, menyusup ke leher dan mendekap erat. Tangan kanan mencabut gagang senjata, lekas ia lempar hingga menimbulkan bunyi berdentang di lantai, meninggalkan jejak robek bolong di bantal yang berada tepat di antara rahang serta pundak Delmora.

"Aku tidak bisa," bisik Dylan serak mengeluh, menghirup aroma Delmora rakus seraya menelusupkan satu tangan lagi ke balik punggung itu, merasakan pelipis dan ubun-ubun berdenyut-denyut.

"Apa?" Istrinya bertanya remang lembut, khas antara sadar serta belum sadar. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku tidak bisa!" serunya mengerang, mendekap Delmora makin kencang namun menahan perut agar tidak begitu menekan. Tindakkannya yang menggebu-gebu, terlihat kontras dengan kelinglungan yang baru bangun.

"Kau ingin membunuhku?"

Pertanyaan pelan Delmora langsung membungkam penalarannya, mengunci mulutnya, menyisakan satu tindakkan yang saat ini bisa dilakukan Dylan. Ia makin menekankan wajah di leher penuh jejak kecupan itu.

Tercekik, mungkin perempuan yang ia peluk ini tercekik membentuk mulut sedikit terbuka. Ia menerka tanpa mau mengangkat wajah guna memastikan.

"Dylan?"

Punggungnya menghangat mendapat tekanan dua telapak tangan Delmora di masing-masing belikat, diiringi teguran halus yang agak hilang seperti kesusahan bicara.

Dylan menjatuhkan pinggang kiri ke kasur sebelah kanan Delmora setelah menikmati kehangatan itu, kaki kanannya tetap di atas paha seperti menyebrang. Tak lepas memeluk, pun tak menjauhkan wajah. Menggigit cemas kulit leher di depan bibirnya secara putus asa.

Sungguh, jantung Dylan berdebar begitu kencang, bertalu-talu bagai gendang. Gigitan ia lepas, membuang uap panas pernapasan yang langsung menempel di kulit leher Delmora. Bahunya naik-turun selama bernapas menenangkan diri.

"Jika itu membuatmu senang, bunuh saja aku."

Tanpa keraguan, bahkan dengan bujukan damai Delmora berkata. Dylan menggeleng lekat di sana, sekaligus menggesekkan hidung serta menghirup aroma. "Anakku," gumamnya, supaya berpikir lebih jauh.

"A-anak?" Delmora terdengar gugup, terasa makin menekankan jemari ke punggungnya. Keheningan menyelimuti dini hari di ruang kamar, Dylan kurang minat melanjutkan ucapan yang tersimpan di tenggorokkan.

"Apa yang terjadi?" Delmora bertanya lagi, suaranya begitu lembut ia rasa. Meneteskan air dingin di besi panas, membuat ia justu menggosokkan hidung di ceruk leher. Selesai menggosok, ia menghirup lagi.

"Aku mengingkari janji setan." Akhirnya ia mengaku, menyebabkan Delmora berkedip terkejut tanpa ia tahu. Hanya keterdiaman serta cengkraman di punggung yang memberi tanda bahwa Delmora terkejut atas pengakuan.

"Istri putra Vincent ... puncak tumbal," lanjutnya agak lambat.

"A-aku?" Gadis itu menyahut kesulitan, lantas tak berselang lama meminta, "Bunuh aku."

Begitu tulus .... Bukan lagi suara menantang seperti dulu, hanya ketulusan tersimpan di sana. Dylan menggemertakkan gigi, mencengkram bahu Delmora dengan jengkel. Secara sabar, ia mulai mengatakan detail bahwa jika istrinya mati, anaknya pun akan mati. Dia tidak ingin.

"Kepalaku hampir pecah, Delmora." Pria itu berkata serak di lehernya, gemetaran untuk pertama kali, disambut desisan Delmora serupa menimang bayi agar tidur, meminta Dylan untuk istirahat.

"Istirahat .... Aku di sini," perintahnya dengan intonasi mengayomi.

Istirahat mungkin sangat sulit jika saja tidak dibantu perhatian itu. Dari napas kasar-kasar sampai beralih tertata oleh usapan Delmora di kepala, pun menerima kecupan berkali-kali di pelipis bukti kecintaan. Tanpa henti, kadang bibir si Gadis menekan lebih dalam sembari bergerak seolah tengah menggali lubang.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang