8 | Mercy

24K 2.1K 247
                                    


Pukul tiga dini hari Runeta mendengar samar-samar suara pintu terbuka dan langkah dari beberapa orang yang masuk ke dalam. Disusul oleh perbincangan singkat antara Cassian dengan... seseorang, suaranya seperti tak asing. Runeta mencoba menguping sedetail mungkin tanpa bergerak agar tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya sudah ada sudah setengah sadar.

"Pangeran Mahnota, kau harus ikut denganku. Terjadi penyerangan tiba-tiba di area perbatasan dekat pegunungan. Informanku memberitahu Beberapa kerajaan dari Benua Ades menyatukan kekuatan untuk berperang, seluruh pasukan mereka sudah berkumpul dan membangun tenda disana. Kita harus bergerak sekarang juga. Kabar ini telah kusebar pada kerajaan sekutu dan kita akan bertemu langsung di perbatasan." Alexandre berbicara, menjelaskan situasi panas yang sedang terjadi saat ini di wilayah perbatasan yang jaraknya sangat jauh dari Carden, tepatnya berada di ujung pulau.

"Sekarang sekali, ayah?" Suara Cassian terdengar serak, sepertinya pemuda itu merasa masih kurang tidurnya, namun jawaban Alexandre selanjutnya tidak bisa ditolak atau lebih tepatnya memang tidak pernah dia tolak.

"Ya, sekarang juga. Ayo ikuti aku, Pangeran Mahkota." Ajak Alexandre melangkah keluar lebih dulu disusul oleh Cassian dan tak lama pintu ruangan ini ditutup namun tak digembok lagi.

Runeta terbatuk pelan, sepasang matanya masih lengket dan enggan terbuka jadi ia menguceknya terlebih dahulu. "Mereka akan kembali empat tahun lagi." Ucapnya, ingat kalau dalam salah satu narasi novel disebut mengenai perang melawan Ades beserta antek-anteknya memakan waktu lama, menguras darah dan keringat, serta memakan banyak korban jiwa.

Runeta lalu menanyai dirinya sendiri dan menghela nafas. "Aku jadi sendirian sekali disini, nih?"

"Ya, sudahlah." Pungkasnya memilih untuk kembali memejamkan mata sebab hari pun masih terlalu pagi baginya dan belum ada orang sama sekali sekali Alexandre yang membawa Cassian dan ribuan prajurit untuk pergi ke perbatasan yang jalannya ratusan ribu kilometer dari sini.

Selang beberapa jam usai memutuskan untuk tidur lagi, Runeta kembali terbangun karena obrolan beberapa orang yang ternyata dilakukan oleh sesama wanita.

"Dia melakukannya?" Suara itu dikenali oleh Runeta sebagai suaranya Angelina.

"Setelah kuperiksa, dia melakukannya." Jawab seorang wanita yang suaranya terdengar asing, tak bisa Runeta kenali.

"Kelihatannya dibuang keluar." Lanjutnya.

"Ah, syukurlah..." Angelina menghela nafas lega. "Mereka semua sedang pergi berperang di perbatasan, kau memiliki banyak waktu sekarang."

"Yang Mulia tenang saja, kita tunggu dia sadar." Jawab si wanita.

"Ibu..." Sepasang mata Runeta terbuka, "kalian membicarakan apa dan aku dimana?" Menyadari ini bukan ruangan tempatnya semalam, Runeta mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Angelina terkekeh. "Kau sudah bangun, Putriku? Bagaimana semalam? Menakjubkan?"

Belum sempat menjawab, Angelina berkata lagi. "Naina, kau Tabib yang ahli dalam pembedahankan? Aku ingin kau mengangkat rahimnya."

Deg!

"A-apa?" Runeta tertegun, ia menatap Angelina dan wanita bernama Naina itu secara bergantian dengan wajah bingung.

Angelina menoleh padanya, membalas senyumannya. "Tenang saja, rasanya akan sakit sedikit. Hanya sedikit. Aku mana mungkin membiarkanmu memiliki anak dari Pangeran Mahkota, kan? Kau bisa-bisa melupakan alasan mengapa kau berada disini."

"Tapi, ibu--"

"Naina, mulai prosesnya." Pinta Angelina menyela ucapan Runeta, tak berniat mendengarkan gadis itu sama sekali.

The Tyrant Betrayed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang