9 | Move

21.2K 1.8K 74
                                    

Penderitaan Runeta belum berakhir, malahan terasa baru saja di mulai begitu hari menjelang malam. Tak ada seorang pun yang datang untuk memperhatikannya dari pihak pelayan bahkan seharian setelah dipindahkan kembali ke kamarnya sendiri, Runeta hanya diantarkan makanan sekali saat sore menjelang malam.

Dalam kondisi seperti ini sebenarnya Runeta sama sekali tidak merasa lapar melainkan lemas dan kesakitan. Tetapi, bukan berarti Runeta tidak mau makan. Runeta hanya tak sanggup untuk menggapai nampan makanan yang berada di meja tak jauh dari ranjangnya.

Jangankan bergerak, berbaring tanpa melakukan apapun saja tetap membuat perutnya terasa perih. Dan sialnya lagi, malam ini hujan turun deras disertai angin. Tak usah dibayangkan seberapa dinginnya, Runeta saja sampai menggigil sebadan-badan.

"Ayolah, ini hanya luka kecil yang jauh dari jantung. Kau tidak akan mati hanya karena luka ini." Runeta menggumamkan kalimat yang sering diucap oleh mendiang ibunya di kehidupan lalu setiap kali Runeta menangis usai terluka karena jatuh atau karena keteledorannya sendiri.

Runeta menghela nafas lalu mulai berbicara pelan karena menurutnya mendiang ibunya pasti akan mendengar. "Kau benar, sebaik-baiknya orang lain kepadaku... mereka tidak akan sesetia dirimu karena kau ibuku. Kurasa aku mengerti mengapa kau mendidikku dengan sangat keras, kau tak ingin aku mati konyol. Tetapi, sungguh kematian pertamaku itu bukan karena aku konyol... seseorang mendorongku. Kau di langit, seharusnya kau melihat itu dan mencekik pelakunya sampai mati. Dia membunuh anak perempuanmu, lho!"

"Kau harus mencekiknya sampai mati. Sampai kedua matanya meloncat keluar, sampai lehernya putus--"

"Kau merencanakan pembunuhan siapa?" Sambar Leon secara tidak terduga mendatangi Runeta. Ah, sebenarnya dia merasa sedikit bersalah. Hanya sedikit, sangat amat sedikit.

"Kau!" Sahut Runeta asal.

Dahi Leon berkerut banyak, terlihat lelaki itu meletakkan mangkuk berisi air hangat yang pada tepinya terdapat sebuah kain yang dilipat.

"Kukira kau sedang sekarat karena demam, tetapi nampaknya kau tidak seremeh itu." Kekeh Leon mencoba untuk mengalihkan perhatian dari rasa bersalah.

"Ya, tidak apa-apa. Lagipula ini sebenarnya tidak sesakit itu." Sahut Runeta memberi jawaban asal, sebenarnya ia terlalu campur aduk untuk diajak bicara saat ini.

Hatinya merasa rindu pada kehidupan lamanya, tetapi juga merasa benci di satu waktu yang bersamaan.

Hanya karena satu dua orang yang eksistensinya bisa dihitung dengan jari, kehidupan Runeta yang sebelum ini dapat dikatakan sebagai kutukan.

Sebab satu orang yang tak menyukainya akan selalu menghasut sekelompok orang untuk tak menyukainya juga.

Bahkan harus meninggalkan didorong secara sengaja oleh sahabatnya sendiri yang ternyata menusuk dari belakang.

Meski mendapat kesempatan kedua untuk hidup di tempat lain, Runeta merasa kalau saat ini pun ia tengah berjalan diatas duri.

"Kalau begitu seharusnya kau tidur, jangan membuatku merasa semakin bersalah atas apa yang tidak kulakukan." Ucapan Leon mematahkan renungan Runeta, membawa gadis itu kembali naik ke atas permukaan setelah cukup lama menyelami alam bawah sadar.

"Kau... tak ikut ke perbatasan?"

Leon menoleh dan menatap Runeta ketika ditanyai hal itu lalu menggelengkan kepalanya. "Raja membawa Pangeran Mahkota."

"Itu permintaan ibumu yang takut anak lelakinya pulang dalam keadaan tidak utuh." Celetuk Runeta tergelak kecil.

"Aku tahu ibu berusaha melindungiku karena dia menyayangiku." Leon membenarkan hal tersebut karena sebagai anak dari Angelina, ia sangat mengenal bagaimana sifat wanita itu.

The Tyrant Betrayed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang