26. Eery

13.5K 1.4K 916
                                    

Dan pada akhirnya hal yang Runeta takutkan datang di keesokan. Perutnya terasa mulas, memberi tanda alami bahwa ia ingin buang air besar saat ini juga tetapi rasa sakit pada lubang bokongnya sama sekali tidak mengurang padahal sudah tiga hari berlalu dan sudah diberi obat oles juga.

Untuk duduk saja Runeta tidak bisa dan Tiora melarang. Sialnya lagi wanita itu sedang tidak ada di rumah sekarang. Tiora pergi bersama Win untuk melakukan transaksi dengan pelanggan yang sudah memesan racun mereka dari dua bulan lalu.

Runeta tahu sebab Tiora pamit dengan terang-terangan bahkan memberitahu alasan kepergiannya, yakni untuk saling melindungi dengan suaminya. Alhasil Runeta hanya tersenyum dan mengatakan hati-hati di jalan pada Tiora. Toh, tak mungkin baginya melarang kepergian wanita itu hanya karena mendapat firasat akan buang air besar hari ini.

Saat mencoba menggunakan kedua tangannya untuk menopang diri sendiri, digerakkan sedikit saja rasa sakitnya menjalar sampai ke ujung kaki sampai-sampai membuat Runeta merasa emosi sendiri.

"Kau membutuhkan sesuatu?" Kai yang tak secara kebetulan datang langsung bertanya karena sempat melihat Runeta berusaha untuk bangkit dari posisi berbaring.

Runeta menggeleng, enggan memberitahu. "Tidak ada."

Kai masih menatap. "Katakan saja akan kubawa kan." 

Runeta menghela nafas panjang, mencoba untuk mengatur emosinya yang cenderung kesal pada diri sendiri sebab merasa tak berdaya bahkan untuk sekedar mengangkat tangan ke udara lalu menoleh dan menatap Kai.

"Kapan ayah dan ibumu pulang?"

Dahi Kai berkerut sejenak, berpikir lebih dulu sebelum menjawab. "Lusa. Mereka pergi ke salah satu daerah di dekat kota jadi perjalanannya lumayan. Kau menitip sesuatu pada mereka?"

"Tidak." Meski nada bicaranya biasa saja, tetapi ekspresi wajah Runeta menampilkan sebaliknya. "Aku hanya tanya."

"Kau ingin buang air besar?" Celetuk Kai mendadak memecah keheningan.

Nyes!--- Runeta merasa seperti daging hatinya baru saja terpanggang usai mendengar celetukkan tepat sasaran dari Kai. Satu kegiatan yang berusaha dilupakannya sebab kalau dilakukan rasanya akan sangat menyakitkan.

"Kau mengingatkannya." Runeta tersenyum masam. "Hal yang coba lupakan."

"Lakukan saja, kalau ditahan itu akan bertumpuk dan mengeras serta jauh lebih menyakitkan untuk mengeluarkannya." Ujar Kai memberi nasehat.

"Aku... tidak bisa." Runeta tidak pernah merasa setakberdaya ini sebelumnya sampai-sampai merasa satu-satunya hal yang bisa dilakukannya selain bicara adalah menangis. "Aku... aku yang tidak sanggup."

Bahkan Runeta tak sadar saat air matanya tahu-tahu sudah banjir di tengah situasi yang dirasanya amat memalukan.

Membuang muka ke arah lain, Runeta malu berucap. "A-aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi secengeng ini di hadapan orang lain. Terasa mengerikan bagiku dan... dan kau bisa memukul wajahku saja jika muak atau cekik... sampai mati."

Jujur saja seumur hidup Runeta tak pernah sedramatis ini bahkan saat menerima fakta dirinya menjadi korban bully dari anak-anak orang kaya dahulu, tetapi yang ini rasanya sangat menyedihkan sampai setiap hari tak lengkap rasanya apabila ia tidak menangis.

"Tolong...! Berhentilah melihatku!"

Kai mengalihkan pandangannya sejenak, agak terkejut saat diteriaki begitu oleh Runeta. Tak apa, Kai mengerti kondisi gadis itu. Luka disekujur tubuh, rusuk patah, dan lubang--ah, mari tidak usah sebut bagian paling sensitifnya.

"Aku akan mengambil kain dan air hangat." Ucap Kai memutuskan memberi waktu sendiri bagi Runeta barangkali gadis itu membutuhkan ruang bagi dirinya untuk buang air besar.

The Tyrant Betrayed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang