Draco berdiri di tepi jendela kamarnya, memandang keluar ke pemandangan Dasar danau hitam yang gelap ditambah lagi matahari belum sempat terbit. Dini hari terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah mencerminkan kecemasan yang menggelayut di hatinya. Pikirannya kembali pada surat dari ibunya, Narcissa, yang kini ada di tangan Harry. Keputusan untuk membantu Laskar Dumbledore ini adalah sesuatu yang baru baginya, dan meski berat, Draco tahu bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.Sebelum meninggalkan kastil, Draco memutuskan untuk berbicara dengan Theodore Nott dan Blaise Zabini. Dia membangunkan mereka dengan susah payah.
“Ayolah Draco, ini masih malam.” grutu Theo yang meminum air dari gelas nya. Dan memandang Blaise yang berdiri sambil beberapa kali menguap.
"Theo, Blaise," panggil Draco, suaranya tegas. "Aku akan pergi untuk suatu urusan penting. Sementara itu, aku butuh kalian untuk mengawasi Hermione dari jauh sampai aku kembali."
Theodore mengangkat alisnya, penasaran. "Kenapa kita harus mengawasi Granger?"
Draco melirik Blaise yang tampak tak senang. "Karena dia penting dalam rencana ini, Theo. Kita butuh memastikan dia aman."
Blaise mendengus. "Aku tidak sudi dekat dengan seorang mudblood."
Mendengar itu, Draco mendekati Blaise dengan cepat, tangannya mencengkeram kerah baju Blaise dengan kuat. "Jangan panggil dia seperti itu lagi," katanya dengan nada dingin dan penuh ancaman. "Hanya aku yang bisa memanggilnya sesuka hati, tidak orang lain."
Theodore terlihat bingung dengan reaksi Draco. "Kenapa kau begitu membelanya, Draco? Kau suka padanya atau apa?"
Draco merasa wajahnya memanas, tetapi ia berusaha menutupinya. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Ini bukan tentang itu."
Blaise menatap Draco dengan cermat, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Benarkah? Kalau begitu, baiklah. Tapi mengapa wajahmu memerah?"
Draco berusaha mengendalikan perasaannya, jantungnya berdegup kencang seakan baru lari lima kilometer. "Itu tidak penting. Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."
Theodore, yang memperhatikan reaksi Draco, bertanya lagi. "Tunggu dari tadi kau bilang rencana, rencana apa? Ada yang kau sembunyikan lagi, Draco? Huh?"
Draco merasa tertantang oleh pertanyaan Theodore. "Tidak ada yang perlu kalian tahu. Apa kalian akan mengawasi Hermione atau tidak?"
Blaise menggeleng. "Baiklah, Draco. Kami akan mengawasinya." Blaise mulai mengangkat ujung bibir nya sebelah. “Atau perlu ku panggil Draco the love bird? Aha! Draco the puppet!”
Theo menahan tawanya dangan kedua tangan sebisa mungkin.
“Awas saja kalian berdua, tunggu aku kembali!” Draco merasa masih ada perasaan canggung yang menggelayut di benaknya. Ia kembali menutup pintu mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamarnya.
Draco menatap Blaise dan Theodore dengan serius. "Kalian berdua harus tahu bahwa ada ancaman sihir hitam yang bekerja di Hogwarts," ujarnya dengan nada tegas. "Ini bukan waktu untuk menutup mata atau berpaling dari kenyataan."
Blaise dan Theodore memandangnya dengan serius, ekspresi wajah mereka berubah menjadi serius. "Apa yang kau maksud, Draco?" tanya Blaise, matanya penuh dengan ketertarikan dan kekhawatiran.
Draco mengangguk, menekankan pentingnya situasi ini. "Ada kekuatan gelap yang bersembunyi di antara kita, dan kita tidak boleh meremehkan ancaman itu. Aku memberitahumu ini karena aku percaya kita bisa mengatasi masalah ini bersama-sama. Apakah kalian mau bergabung dan membantu atau tidak, terserah kalian. Tapi ingatlah, kita harus bersatu dalam menghadapi ancaman ini."
Blaise dan Theodore saling bertukar pandang, ekspresi wajah mereka menunjukkan ketidakpastian dan kebingungan. Mereka menggeleng pelan, mengungkapkan bahwa mereka juga merasa kacau dengan perang yang terjadi sebelumnya.
Blaise melirik Theo," Kau tahu, kita harus hati-hati dengan Draco. Kalau tidak mungkin kita perlu mencampur Amortentia ke minumannya."
Theo tersenyum kaku, pikirannya terbagi antara kata-kata Draco barusan dan candaan Blaise eyang menurutnya memang masuk akal. "Ide bagus, kita lihat apa dia benar-benar bisa bertahan dengan wajah nya yang standar itu."
Draco yang baru saja keluar memutar bola matanya saat mendengar candaan itu dari balik pintu dan menghardik. "Diam kalian! Aku masih bisa dengar!"
***
Draco kemudian bergabung dengan Harry, Ron, Neville, Luna, Ginny, dan Susan di area luar Hogwarts, di mana mereka akan bersama-sama berdisapparate sesuai dengan rencana yang telah disusun. Mereka bergerak dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang melihat mereka meninggalkan kastil.
"Semua siap?" tanya Harry dengan suara rendah.
Draco mengangguk, pandangannya tegas. "Just do it, Potter!"
Dalam sekejap, mereka semua menghilang dari pandangan, disapparate ke tujuan mereka di Inggris Selatan, menuju rumah keluarga Grey yang penuh misteri. Draco merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, bukan hanya karena bahaya yang mereka hadapi, tetapi juga karena perasaan yang baru saja ia sadari dalam dirinya. Perasaan yang ia tahu akan membuat segalanya semakin rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE : DRAMIONE
FanfictionNb : Setiap cerita punya alur masing-masing yaa. Termasuk cerita ini ada progres dan beberapa masalah yang aru tambahkan dan gak ujug-ujung ke Dramione nya yaaa :) Bukan hanya kisah romansa juga masalah baru yang terbit. Pasca perang, Draco Malfoy...