Di Ambang Kematian

87 20 15
                                    

Draco setengah berlari, terengah-engah dalam kegelapan hutan, mengikuti suara yang ia percaya adalah suara Harry. Setiap langkahnya membawa dia semakin dalam ke dalam hutan yang terasa semakin menghimpit dengan setiap langkahnya. Cahaya temaram dari tongkatnya hanya mampu menembus beberapa meter di depan, membuat mata kelabunya harus bekerja keras dalam usaha sia-sia untuk menembus kegelapan. Hatinya berdegup kencang, sementara ketakutan dan keputusasaan menggeliat di dalam dirinya, merambat seperti racun yang merasuki setiap denyut nadinya.

“Persetan dengan kau!” Draco mengumpat saat menyadari dia kembali tiba di tempat yang sama—sebuah bangkai pohon yang sudah tiga kali dilalui. Nafasnya semakin berat, bukan hanya karena kelelahan fisik tetapi juga ketakutan yang semakin mendalam.

Sebuah suara gemuruh tiba-tiba membelah malam; tubuh seseorang terlempar dengan keras dan menghantam pohon di dekatnya. Draco segera siaga, matanya menyipit saat tongkatnya teracung, siap menyerang.

"Kepala merah...?" bisiknya saat mengenali sosok yang terluka parah di tanah. "Kau Weasley 'kan? Kau masih hidup?" Tapi tak ada jawaban dari Ginny, hanya suara napas yang tersengal-sengal.

Hawa di sekitarnya berubah drastis, seolah-olah udara itu sendiri menjadi lebih berat, menekan paru-parunya dan memaksanya untuk bernafas dengan susah payah. Draco berusaha menelusuri sumber dari mana tubuh Ginny terpental, hingga pupil matanya melebar.

Harry tergantung terbalik di udara, tertangkap oleh mantra keji yang diingat Draco sebagai ciptaan Snape, Levicorpus. "Bangsat," desisnya, ketika mengenali pola keji Lady Alectra yang seperti punya obsesi tersendiri dengan mantra satu ini.

“Ah, yang benar saja,” gumamnya kesal, lalu memalingkan pandangannya ke arah Ginny, menciptakan perisai pelindung dengan tongkatnya yang gemetar. Dia tahu dalam kondisi seperti ini, dia tak bisa mengandalkan Ginny yang hampir tak sadarkan diri.

“Hei! Avada Kedavra!” teriaknya, melemparkan kutukan terkuatnya pada Lady Alectra yang tengah mempermainkan tubuh Harry seperti mainan.

Lady Alectra berbalik, senyuman dingin menghiasi wajahnya yang tanpa belas kasih. “Ah, saudara yang tampaknya tak ingin jadi saudara, ya?”

"Tutup mulutmu, bajingan! Cruciatus!" Draco mengacungkan tongkatnya, tapi mantra itu meleset, dihentikan oleh kekuatan tak terlihat yang dipancarkan dari Lady Alectra.

"Ssshh...tenang sepupu, bicaralah yang baik-baik. Kau tahu? Mulutmu terlalu busuk untuk diucapkan pada seorang gadis," Alectra menyeringai, tampak menikmati rasa frustrasi yang terpancar dari Draco.

Draco hanya mengulas senyum sinis, "Who the hell are you, really?"

You know me better than anyone, honey.” jawab Lady Alectra, suaranya begitu tenang, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. Dia berputar dengan elegan, lalu tiba-tiba asap hitam mengepul di sekitarnya, menghilang dan muncul kembali di atas dahan pohon yang tinggi. “Oke dengar, cukup basa-basinya. Biar kuperjelas sepupu, aku tahu ayahku… You-Know-w…”

“Avada Kedavra!” Draco tak memberi kesempatan lagi, meluncurkan kutukan kematian tepat ke arah kepala Lady Alectra.

Namun, tubuhnya hanya melesat turun sejenak sebelum kembali diangkat oleh kepulan asap hitam yang sama. Lady Alectra tersenyum penuh kemenangan dari atas sana. “Kau benar-benar merusak momen jahatku, kau tahu?”

Draco mendengus frustrasi. “Sectumsempra!”

"Sudah kubilang, tunggu dulu!" Lady Alectra melangkah mendekat, suaranya berubah lembut namun penuh ancaman. "Kau tahu Draco, pangeran kegelapan, Lord Voldemort yang agung, darahnya mengalir dalam darah ku. Ibuku? Bellatrix, death eater paling hebat pada masanya.”

MINE : DRAMIONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang