Deception

125 23 10
                                    

Lapangan Quidditch Hogwarts mulai dipenuhi oleh para suporter dari seluruh asrama. Terik matahari memantul di atas lapangan hijau yang luas, sementara para siswa dengan antusias memadati tribun, mengenakan warna-warna tim kebanggaan mereka-hijau dan perak untuk Slytherin, serta kuning dan hitam untuk Hufflepuff. Suara riuh tepuk tangan, teriakan semangat, dan obrolan bersahut-sahutan membentuk atmosfer yang penuh adrenalin. Suara bendera-bendera yang berkibar tertiup angin mengiringi aura ketegangan yang perlahan-lahan menyelimuti arena.

Di ruang tunggu pemain Slytherin, kesibukan tak kalah intens. Para pemain sedang berganti baju, memasang perlengkapan mereka dengan hati-hati. Draco Malfoy duduk di sudut ruangan, diam dengan ekspresi yang lebih serius daripada biasanya, tatapannya menerawang jauh, memikirkan pertandingan yang segera dimulai. Blaise, Theo, dan anggota tim lainnya sibuk mengenakan jubah hijau Slytherin yang khas, dengan lambang ular yang menjulang di dada. Sementara itu, suara canda tawa terdengar samar di antara mereka, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara-semua orang tahu betapa pentingnya pertandingan kali ini.

Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka dengan keras, membuat suasana yang semula serius berubah. Semua pemain, meskipun kebanyakan dari mereka laki-laki, secara refleks berteriak kaget, beberapa melompat mundur, sementara yang lain memutar kepalanya dengan cepat ke arah pintu.

Astoria Greengrass berdiri di sana, tersenyum lebar dengan sikapnya yang seolah-olah tak peduli pada tatapan bingung dan kaget dari para pemain. "Astoria?" Blaise melepaskan pegangannya pada jubahnya yang hampir selesai dipasangnya, tangannya kini beralih ke gagang pintu. Dia menatap dingin pada Astoria-berbeda dari Blaise yang biasanya lebih bersahabat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya tajam dan tegas. "Pergi. Kami sedang ganti baju."

"Sayangnya aku tak punya urusan dengan mu, Blaise." Astoria menanggapi tanpa kehilangan senyumnya. "Aku di sini untuk bertemu Draco," jawabnya, matanya beralih dari Blaise ke Draco yang duduk di ujung ruangan.

Blaise menatapnya lebih keras. "Temui dia di luar lapangan, bukan sekarang."

Sebelum Astoria sempat menjawab, terdengar suara deheman dari sudut ruangan. Draco berdiri dari bangkunya, wajahnya tak menunjukkan banyak emosi, tetapi tatapannya terarah langsung pada Blaise. Itu sudah cukup untuk membuat Blaise menjauh dengan enggan, membiarkan Draco mendekat.

Astoria melangkah maju, sedikit menjinjitkan kakinya saat dia mengulurkan tangannya ke arah pipi Draco, senyumnya masih terukir di bibirnya. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh kulit Draco, Draco justru dengan cepat menarik wajahnya ke belakang, menghindari sentuhan itu. Astoria menarik tangannya kembali, cepat dan ragu, senyumnya sedikit meredup.

"Kau terlihat lebih pucat dari biasanya," bisiknya, nada suaranya bergetar dengan kekhawatiran yang jelas.

Bagaimana tidak? Setelah semua yang ia lalui, mana mungkin Draco bisa baik-baik saja.

Tatapan mata Draco terasa semakin membunuh saat ia menyatukan kedua alisnya, "Apa mau mu?"

Astoria terdiam sejenak, lalu mencoba tersenyum lagi. "Aku hanya ingin melihatmu sebelum pertandingan," katanya dengan nada yang lebih lembut.

Draco mendengus, ekspresinya tetap tak tergoyahkan. "Kalau tidak ada hal penting, sebaiknya kau pergi. Kami sibuk di sini."

Astoria menelan ludah, memaksakan senyumnya sebelum dia melangkah mundur. Astoria hanya mengangguk kecil, lalu dengan cepat berbalik dan meninggalkan ruangan dengan pintu tertutup di belakangnya.

Setelah Astoria keluar dari ruangan, suasana kembali tegang. Theo yang sejak tadi diam tak bergeming akhirnya angkat bicara, suaranya rendah dan tajam, seperti pisau yang mengiris udara.

MINE : DRAMIONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang