Sesungguhnya, Laras tidak mengerti dengan jalan pikiran Dewa. Atau mungkin pria itu memang benar-benar sudah sinting.
Baru kemarin pria itu melecehkannya dengan setiap kata yang diucapkan. Dan hari ini ia memberi Laras hadiah sebuah gaun cantik yang tentu saja buatan butik terkenal.
"Apa ini?" Laras menunjuk kotak hadiah berisi gaun cantik berwarna kuning gading. Bukan gaun mewah penuh hiasan. Tapi gaun berpotongan sederhana yang bahkan dari jahitan dan nama perancang di labelnya, sudah cukup memberi informasi pada Laras bila gaun ini mungkin seharga satu buah motor matik.
"Anggap saja sebagai permintaan maafku, karena perkataanku kemarin. Aku cuma bergurau, kamu tidak ambil hati kan?"
"Aku tidak bisa menerima hadiahmu ini. Ambil kembali."
"Kenapa? Gaun ini khusus dibuat untukmu, ukurannya pun pas. Apalagi yang kurang?"
"Hadiah tidak bisa mewakilkan permintaan maaf yang tidak tulus." Tentu saja Laras tidak bisa mengatakan bila gaun hadiah ini mengingatkannya pada gaun yang pernah diberikan Dewa padanya bertahun-tahun lalu.
Pada malam itu ... ia juga mengenakan gaun yang diberikan Dewa padanya.
"Dan aku tidak ingin berhutang apa-apa padamu."
"Apa maksudmu tidak ingin berhutang apa-apa padaku? Apa salah jika aku ingin memberikan hadiah pada perempuan yang merupakan ibu anakku?"
"Jika bisa, aku tidak ingin menjadi perempuan yang melahirkan anakmu. Jika bisa, aku berharap Arfa tidak terlahir dari benihmu."
"Apa itu artinya kamu masih membenciku?" Tatapan Dewa begitu tajam menatap Laras. Laras tidak menjawab, tapi kebisuannya sudah merupakan sebuah jawaban untuk Dewa.
"Kalau begitu buang saja. Tidak ada gunanya. Kamu tidak mau menerimanya dan tidak ada yang bisa memakai gaun itu. Jadi buang saja." Dewa menepis kotak hadiah yang diletakan Laras di atas meja. Tindakannya begitu kasar hingga kotak itu terlempar bersama isinya.
Laras tetap bergeming. Pandangannya tertunduk menghadapi kekasaran dan amarah Dewa. Tidak ada yang tahu bila mata nan indah itu sudah digenangi oleh air mata.
Ya, Tuhan. Pekiknya dalam hati. Sampai kapan aku harus menanggung semuanya? Tidakkah Dewa sadar, kami berdua bagaikan dua garis lurus yang tidak akan pernah saling bersinggungan. Tidakkah ia ingat bila gaun itu memberikan kenangan buruk untuknya?
Tentu saja Dewa tidak ingat. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf atas ucapan buruknya pada Larasati. Ia hanya tahu dengan memberikan hadiah, maka Laras tidak akan marah lagi padanya.
Tapi penolakkan wanita itu yang begitu dingin. Dan ucapannya yang menusuk jantung, sungguh membuat Dewa begitu marah.
Seburuk itukah ia di mata Larasati? Sebegitu bencikah perempuan itu padanya? Bukankah ia sudah mencoba yang terbaik untuk menebus semua dosanya?
Apa yang ia lakukan selama ini, karena ia tidak ingin Laras dan anaknya berkubang dalam kemiskinan. Dewa tidak rela melihat Laras bekerja berjibaku begitu keras merawat orang sakit, hanya untuk uang yang tidak seberapa.
Ia memiliki uang berlimpah, jadi kenapa Laras masih harus bekerja begitu keras untuk mencari uang? Tidak bisakah Laras melihat semua perlakuan yang ia berikan padanya?
Menempatkannya di apartemen mahal. Menyekolahkan Arfa di sekolah yang terbaik. Memberikan semua fasilitas yang diimpikan semua orang.
Namun kenapa sikap Laras masih begitu dingin padanya? Kenapa Laras masih menjauhinya? Padahal sedari lahir sampai sekarang, Dewa hidup sebagai tuan muda yang dihormati. Dimanjakan dan tidak pernah sekalipun tunduk pada orang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/355365185-288-k720137.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung di ujung Senja
General FictionBagi Dewa Putra Bramasta, Larasati adalah serangga pengganggu. Kehadiran gadis itu sama buruknya dengan ibunya yang tanpa malu merayu kakeknya demi harta. Karena itu ia melakukan berbagai cara untuk membuat gadis itu menderita. Membully, melecehkan...