Bab 11

8.9K 496 1
                                    

"Setrikain baju gue, yang licin!" Dewa melemparkan kemejanya yang kusut ke arah Laras yang sedang sibuk mengerjakan tugas di meja belajarnya. Kemeja itu tepat mengenai mukanya.

Laras ingin sekali mengeluarkan kata makian pada Dewa yang tidak punya sopan santun ini. Bahkan masuk kamar Laras saja tidak mengetuk pintu dulu. Entah dianggap apa Laras di matanya ini.

Ini minggu kedua Laras tinggal di rumah besar ini. Secara urutan keluarga, dia ini statusnya anak tiri Pak Windhu. Adik tiri ibunya Dewa. Dan seharusnya Dewa menghormatinya dan memanggilnya bulik atau tante.

Tapi dasar anak kurang ajar, jangankan memanggil tante. Menghormatinya saja tidak.

"Ngapain juga gue harus bersikap sopan sama elu, emang elu siapa? Cuman juga anak babu. Kakek gue aja yang pikun mau nikah sama ibu lu." Dengan kurang ajarnya Dewa mencibir ketika Laras mengingatkannya, entah untuk yang keberapa kalinya bila ia harus mengetuk pintu kamarnya dulu bila mau masuk ke kamar Laras.

Saat pertama kali bertemu dengan Dewa, Laras sedang menyirami tanaman bunga di taman depan rumah. Itu hari kedua ia tinggal di rumah ini. Ia biasa membantu budhenya di Malang pekerjaan rumah. Jadi mungkin karena kebiasaan, tinggal di rumah gedong inipun Laras tidak cuma diam bengong.

Padahal pembantu di rumah ini banyak. Ada yang tugas memasak, mencuci, bersih- bersih rumah. Bahkan yang bertugas membereskan kamar tidur saja beda.

Tapi hal itu malah membuat Laras tidak enak hati. Jadi hari ini, dengan setengah memaksa. Laras membantu Mang Asep menyiram tanaman. Meski Mang Asep sudah setengah mati melarang. Laras anak majikannya. Statusnya beda, meski cuma anak tiri. Dia gak mau kena tegur. Tapi melihat gadis itu terlihat memaksa, malah seperti sudah terbiasa dengan pekerjaan macam ini. Mang Asep membiarkan saja.

Dan saat itulah Dewa muncul. Ia baru saja pulang, entah dari mana. Lengkap dengan tunggangannya. Motor sport yang harganya selangit.

Kenapa Laras tahu harganya selangit? Karena motor itu yang biasa dipakai pembalap Moto GP. Yang biasa ditonton sepupunya  di TV waktu di Malang.

Tapi Dewa tentu saja bukan pembalap Moto GP. Cuma tunggangannya yang sama. Tapi dia tidak kalah keren dengan pembalap Moto GP. Celana dan jaket kulit hitam. Juga helm full face. Apalagi tubuhnya yang jangkung, tongkrongannya dijamin bakal bikin cewek-cewek histeris. Minimal memelototkan mata.

Begitu juga dengan Larasati. Ketika Dewa membuka helmnya, ia langsung terpana. Pemuda yang baru saja turun dari motornya itu sangat tampan!

Bahkan Alvino, teman sekolah Laras di Malang. Yang dibilang cowok paling ganteng satu sekolah, masih kalah ganteng dari Dewa.

Dewa bukan cuma ganteng, tapi ia punya aura yang berbeda. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, cuma satu yang bisa menggambarkan dirinya: luar biasa menawan!

"Siapa, Sep?" Dewa melirik Laras yang masih seperti orang dungu. Melihat ke arahnya sambil ternganga. Jelas sekali kalau gadis itu terpesona dengan wajah tampannya. Dewa tidak risih. Tidak geer. Sudah biasa baginya dikagumi lawan jenis. Jangankan lawan jenis, yang sejenis saja banyak yang kagum. Tapi tentu saja Dewa cowok normal. Dia kan bukan LGBT.

"Laras, Den. Anaknya Bu Astuti."

"Oh, anak babu?" Dewa mencibir. Penghinaan terlihat jelas di matanya. Tadinya Dewa mengira Laras pembantu baru di rumahnya. Melihat penampilannya yang berbeda jauh dari anak-anak perempuan di sekolahnya atau night club tempat ia biasa nongkrong.

Ternyata anaknya Astuti. Istri baru kakeknya. Anak babu.

Laras pucat pasi mendengar ejekan dan penghinaan Dewa yang diucapkan langsung di depannya. Sedangkan Mang Asep nyaris tersedak ludahnya sendiri. Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, Dewa masuk ke dalam rumah. Mang Asep cuma melirik Laras, yang wajahnya sudah seputih kertas. Nyaris mau menangis. Ia tidak tahu bagaimana menghibur Laras.

Meski dalam hati memaki anak majikannya yang sangat kurang ajar. Den Dewa memang keterlaluan. Sifat dan perilakunya sudah terkenal dikalangan pembantu di rumah ini. Kasar, kurang ajar dan minus sopan santun.

Bahkan memanggil ART di rumah ini saja cuma menyebut nama. Tidak ada embel-embel mbak atau pak. Padahal ART di rumah ini rata-rata usianya lebih tua dari dia. Bi Tarmi saja, ART senior di rumah ini usianya sudah lima puluh lebih. Tapi tetap dipanggil namanya tok!

Den Dewa beda dengan Pak Windhu, kakeknya. Pak Windhu baik, ramah dan sangat menghargai pekerjanya. Mulai dari supir, ART, sampai direktur di perusahaannya. Semua diperlakukan manusiawi. Tidak membeda-bedakan pekerjaan dan jabatan orang.

Entah menurun siapa sifat jelek Dewa itu. Mungkin ibunya, karena Nyonya Wina juga seenaknya memperlakukan ART di rumah ini.

Namun ucapan Dewa pada Laras barusan memang keterlaluan. Anak babu katanya. Meski ia tidak setuju dan tidak suka Ibu Laras menikah dengan kakeknya. Tapi kenyataannya mereka sudah menikah. Sudah resmi menjadi suami istri. Dan status Astuti di rumah ini bukan lagi pembantu, tapi nyonya rumah di rumah ini. Jadi seharusnya Dewa lebih menghormati Larasati.

Tapi kenyataannya, memandang sebelah mata saja tidak. Apa sifat orang kaya memang begitu? Suka seenaknya memperlakukan orang yang dianggap rendah darinya? Derajat manusia itu memang cuma sama di mata Tuhan. Tapi di mata orang seperti Dewa, sama sekali tidak sama!

Pertemuan pertama mereka ini tidak meninggalkan kesan yang baik untuk Larasati. Siapa sangka bila perlakuan buruk Dewa padanya tidak berakhir sampai di situ. Justru itu cuma awalnya saja.

Lembayung di ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang