Bab 23

8.9K 568 17
                                    

Dewa membutuhkan seorang pewaris. Rasanya Larasati tidak bisa mempercayai pendengarannya sendiri. Jadi untuk itukah setelah bertahun-tahun lamanya Dewa kembali mencari jejaknya?

Untuk apa ia menginginkan Arfa sebagai pewarisnya? Tidak bisakah ia mendapatkan pewaris lain dari istrinya? Atau dari perempuan-perempuan lain yang sudah tidur dengannya? Kenapa harus Arfa? Kenapa harus mengusik hidup anaknya?

Larasati tidak tahu apa yang ada dipikiran Dewa dan rencananya. Tapi setelah kejadian hari itu, setelah kebenaran terkuak. Arfa kini tinggal bersamanya. Bukan hanya karena telah menerima Larasati sebagai ibunya. Tapi juga karena kehadiran Dewa di rumah itu.

"Aku tidak mempercayai bajingan itu yang tinggal satu atap denganmu, Bu. Aku harus melindungimu dari gangguannya."

Larasati tidak tahu, apa ia mesti bahagia atau bersedih mendengar ucapan anaknya. Arfa tidak menyembunyikan kebenciannya pada Dewa. Atau rasa permusuhannya. Ia bahkan tidak sudi memanggil Dewa dengan sebutan ayah.

Dan hari ini, mereka sedang sarapan bertiga. Menunya sederhana. Nasi goreng sosis dengan telor mata sapi dan dilengkapi taburan bawang goreng dan kerupuk.

Sudah beberapa hari ini Dewa tinggal di rumah Larasati. Ia berhasil meyakinkan ibunya agar tidak perlu kembali ke Malang untuk menjenguknya. Bukan karena ia takut ibunya tahu ia kembali berhubungan dengan Larasati. Anak dari perempuan yang dibencinya. Tapi karena ia tidak ingin kupingnya pengang mendengar ocehan ibunya.

Dan sudah beberapa hari ini juga mereka tinggal bertiga. Meski mereka belum menjadi keluarga yang sebenarnya, tapi Dewa merasakan mereka sudah seperti keluarga. Tentu saja bila tidak dihitung dengan sikap Arfa yang terang-terangan tidak menyukainya. Dan selalu bersikap bermusuhan dengannya.

Lihat saja tatapan tajamnya saat bocah itu memandangnya. Seakan ia penjahat berbahaya yang harus diawasi. Dan sikapnya yang sangat melindungi  Larasati, seakan takut Dewa akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Di mata Dewa, sikapnya sungguh lucu. Apa dia pikir bila Dewa menginginkannya maka bocah itu bisa mencegahnya melakukan sesuatu pada Larasati?

"Ibuku sudah menceritakan semuanya padaku. Perbuatan kejimu padanya. Kau ... Manusia paling menjijikkan yang pernah aku kenal."

Malam itu Arfa menemuinya tanpa sepengetahuan Larasati. Bocah itu terlihat jelas sangat membencinya. Ia tidak menutupi kebencian dan permusuhannya pada Dewa.

"Terus?" Dewa mengangkat sebelah alisnya.

"Jauhi dia. Aku peringatkan padamu, bila kau mencoba mengganggu dan menyakitinya lagi. Aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

"Apa kau sedang mengancamku, boy? Bocah ingusan sepertimu? Apa yang bisa kau lakukan padaku?"

"Aku bisa mematahkan satu kakimu lagi. Atau membuatnya tidak bisa berjalan selamanya." Arfa melirik kaki Dewa yang terbalut gips. Kata ibunya, pria ini mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang kakinya retak. Sudah dioperasi dan tinggal penyembuhan saja. Itukah sebabnya ia tinggal di rumah mereka? Dan menjadikan ibunya perawat pribadinya?

"Apa aku harus takut dengan ancamanmu itu, boy?"

"Kenapa kau harus tinggal di rumah ibuku? Bukankah kau kaya? Kau bisa tinggal di hotel atau menyewa villa. Kenapa harus tinggal di rumah kami?"

"Asal kau tahu, boy. Ibumu itu perawat pribadiku. Dan aku memberinya gaji tinggi untuk menjadi perawat pribadiku. Apa itu masalah buatmu?"

"Kau bisa menggaji orang lain untuk menjadi perawat pribadimu. Tidak harus ibuku."

"Tapi aku menginginkan ibumu, bukan orang lain."

"Kau mengancamnya bukan? Kau mengancamnya agar ia bersedia menjadi perawat pribadimu."

Lembayung di ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang