Mau tanya, boleh dong? Kalian suka akhir cerita yang sad atau happy end sih? Kalau saya jelas yang sad sih, karena feelnya lebih terasa ... bahkan bisa ingat berhari-hari kalau baca novel atau nonton film yang akhirnya sad end.
Kalau kalian bagaimana? Setuju gak kalau saya bikin akhir cerita dari novel-novel saya yang akhirnya sad aja ya 😘
Sstt ... ini rahasia ya, sebenarnya saya paling gak bisa loh bikin cerita melow yang menyayat hati begitu. Kalau kalian pikir novel-novel saya banyak berisi melow, itu bohong. Itu mah biasa aja kok, swear deh😃😃😃
***
Arfa memandang ibunya yang saat ini sedang menyiapkan makan siang untuknya. Karena ini hari pertama dia bersekolah, jadi pulangnya tidak terlalu sore.
Jika kegiatan belajar mengajar sudah mulai berlangsung, ia bisa pulang sekitar jam dua siang. Atau jam tiga sore jika ada kegiatan ekskul.
"Siapa perempuan itu, bu?" Pertanyaan Arfa menghentikan kesibukan Larasati yang sedang mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk anaknya. Ia tentu saja tahu, perempuan siapa yang dimaksud Arfa.
Karena pulang sekolah lebih awal, membuat Arfa bertemu Priscila yang diundang Dewa untuk datang ke apartemennya. Meski mereka tidak pergi dengan satu mobil, namun tidak urung hal itu menimbulkan situasi canggung di antara mereka.
Apalagi tadi, Priscila sempat amprokan dengan Arfa yang baru saja pulang sekolah. Sesaat, Larasati bisa melihat sinar keterkejutan di mata perempuan itu ketika melihat Arfa barusan. Tapi kemudian bisa dilihat, bila Priscila mencoba bersikap biasa saja setelahnya.
"Mantan istri ayahmu."
"Mantan istri? Untuk apa ia datang ke sini?"
"Ibu tidak tahu. Mungkin ada urusan dengan ayahmu." Larasati angkat bahu. Saat ia bertemu Priscila di rumah sakit tadi, Larasati tidak tahu bila perempuan cantik itu adalah mantan istri Dewa. Ia hanya melihat perubahan di wajah Dewa yang terlihat dingin memandang wanita itu.
Saat ini keduanya sedang berbicara di ruang kerja Dewa. Asisten dan supir Dewa sudah pergi, mereka hanya mengantar sampai depan pintu apartemen. Larasati tidak ingin tahu apa yang sedang dibicarakan oleh kedua pasang mantan suami istri itu. Karena merasa itu bukan urusannya.
Ia juga baru tahu bila Priscila mantan istri Dewa setelah perempuan itu memohon-mohon untuk bicara empat mata dengan Dewa. Larasati juga sempat mendengar nama Alamanda, disebutkan perempuan itu. Entah siapa Alamanda itu, mungkin anak Dewa dari perempuan itu.
Meski Dewa tidak pernah mengatakan ia memiliki anak kandung lain selain Arfa, tapi bukan tidak mungkin bila Dewa memiliki anak kandung dari perempuan lain.
Dengan sifat Dewa dan segala kebohongan yang ia katakan, itu tidak mungkin tidak.
"Ia memiliki istri dan mungkin seorang anak, kenapa masih menginginkan kita untuk tinggal bersamanya?" Arfa lagi-lagi bertanya.
"Ibu tidak tahu. Kau harus tanyakan itu pada ayahmu. Perempuan itu mantan istrinya, Fa. Mereka sudah bercerai."
"Perempuan itu terlihat sok. Arfa tidak suka cara dia memandang Arfa tadi." Rupanya Arfa pun menyadari tatapan Priscila padanya. Memang terlihat intens dan tajam, diwarnai keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Larasati menduga, Priscila sudah menebak siapa Arfa dari kemiripan wajah Arfa dan Dewa. Larasati tidak akan terkejut bila nanti akan mendengar suara pertengkaran dari kamar kerja Dewa.
Namun meski sudah menunggu agak lama, ia tidak bisa mendengar suara keributan dari kamar kerja Dewa. Mungkin dugaannya tidak terbukti, atau mungkin juga pintu kamar kerja Dewa begitu tebal dan kedap suara. Hingga suara dari dalam tidak sampai terdengar keluar ruangan.
Saat ini Dewa memang sedang berbicara dengan Priscila. Priscila berdiri di depan Dewa yang duduk di kursi roda.
"Aku mendengar kecelakaan yang menimpamu. Tapi ibumu menutup rapat berita tentang kecelakaanmu dari dunia luar. Bahkan ia menutup telpon saat aku menghubunginya yang ingin mengetahui kabarmu. Jika aku tidak bertemu Melky, aku tidak tahu bila kau sudah keluar dari rumah sakit."
"Kamu sudah tidak diterima di keluarga Windhunoto. Jadi untuk apa kamu menelpon ibuku?"
"Tapi aku mantan istrimu, Dew. Apa salah jika aku ingin tahu mengenai keadaanmu?"
"Salah. Karena kita tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Semenjak hakim memutuskan perceraian kita, semenjak itu juga aku dan kamu tidak lagi memiliki kepentingan apapun," ucap Dewa dingin. "Aku tidak ingin tahu kabarmu, seharusnya itu juga yang kau lakukan. Katakan, Pris. Jangan membuang waktuku. Kau datang dan memohon ingin bicara denganku bukan karena bersimpati atas kecelakaan yang menimpaku bukan? Kepentingan pribadi apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Menghadapi sikap Dewa yang terlihat tidak suka bertele-tele, Priscila tahu akan sangat percuma berpura-pura mengkhawatirkan keadaan mantan suaminya ini. Jadi mungkin lebih baik ia bicara langsung dan berterus terang.
"Ini mengenai Alamanda ..."
Sebelah alis Dewa terangkat, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Manda sakit, Dew. Ia butuh donor sumsum tulang belakang untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Aku butuh biaya banyak untuk perawatan Manda. Aku mohon padamu, Dew. Tolong bantu aku, tolong bantu biaya perawatan pengobatan Manda. Dengan status dan kekayaan yang kau miliki ... bahkan untuk membawanya berobat keluar negeri itu bukan masalah besar bagimu."
"Kamu salah orang. Kenapa tidak meminta ayah kandungnya untuk membantu biaya pengobatan anakmu?"
"Aku tidak bisa! Jonathan tidak mau mengakui Manda sebagai anaknya! Kamu tahu ia dikekang istrinya, tidak bisa bergerak bebas meski ingin membantu."
"Itu urusanmu. Bukan urusanku. Manda bukan anakku. Kewajiban apa yang kumiliki hingga aku harus membantu anak orang lain?"
"Kumohon, Dew. Demi kemanusiaan. Aku tahu aku bersalah karena sudah berselingkuh darimu, tapi Manda tidak bersalah. Awalnya kau juga menyayangi Manda bukan? Kau menganggap ia sebagai anakmu sendiri dan ..."
"Cukup!" Dewa mengaum marah. "Jangan katakan hal menjijikan itu lagi, Pris! Kau sudah membuatku menjadi pria paling tolol sedunia! Mengira anak yang kau lahirkan sebagai anakku! Tahukah kau, jika ingat kebodohanku itu aku ingin mencekik lehermu!"
Tanpa sadar kaki Priscila mundur selangkah ke belakang, tapi kemudian teringat tujuan kedatangannya ke sini. Tidak, ia tidak boleh takut. Tidak boleh mundur. Demi Manda. Demi putrinya yang kini terbaring sakit. Apapun yang terjadi, ia harus bisa mendapatkan bantuan Dewa!
"Aku memang bukan perempuan suci karena sudah berselingkuh darimu. Tapi bagaimana denganmu sendiri? Aku sudah melihatnya, bocah remaja lelaki itu begitu mirip denganmu. Dia anakmu kan? Jadi selama kita menikah, kamu juga memiliki simpanan di luar. Dan anak itu sudah sebesar itu! Kamu juga berbohong padaku, Dew! Kamu juga berselingkuh! Dan sekarang kamu menuduhku mengkhianatimu, padahal kau yang lebih dulu melakukannya!"
"Arfa memang anakku. Tapi dia bukan hasil dari perempuan selingkuhanku! Kalian tidak sama!"
"Kamu mau bilang bila perempuan yang melahirkan anakmu lebih baik dariku? Jika ia perempuan baik-baik, tidak mungkin ia hamil di luar nikah. Dan melahirkan anakmu tanpa ikatan pernikahan yang sah. Apa bedanya dia dengan pelacur?"
"Ibuku bukan pelacur! Dia perempuan baik-baik yang hidupnya hancur karena bajingan ini!"
Teriakan Arfa yang mengandung kemarahan luar biasa mengagetkan keduanya. Baik Dewa maupun Priscila. Saat ini Arfa sudah berdiri di ambang pintu kamar kerja Dewa. Wajahnya memerah, ekspresinya menyeramkan. Bertanda jika kemarahannya bukanlah omong kosong belaka.
![](https://img.wattpad.com/cover/355365185-288-k720137.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung di ujung Senja
Ficción GeneralBagi Dewa Putra Bramasta, Larasati adalah serangga pengganggu. Kehadiran gadis itu sama buruknya dengan ibunya yang tanpa malu merayu kakeknya demi harta. Karena itu ia melakukan berbagai cara untuk membuat gadis itu menderita. Membully, melecehkan...