Bab 26

7.8K 564 14
                                    

Temanku semua, jangan khawatir. Kalau saya tidak ada di Wattpad berarti saya sedang di KaryaKarsa. Karena ada dua cerita yang belum tamat di sana. Sudah terlalu lama saya biarkan terkatung-katung. Kalau di WP inikan cuma cerita ini saja yang belum tamat, yang lainnya sudah. Meski setelah ini saya bakal tetap publish cerita lain pastinya. Tapi tamatin yang ini aja dululah di WP. Jadi orang gak boleh serakah kan ...

Meski saya libur di WP selama puasa, tapi saya usahakan tetap update di KK. Karena mau mengejar publish di sana yang belum tamat-tamat sampai sekarang.

Maaf kalau di sana ceritanya lama ditelantarkan hiks ...😔

Buat yang suka adegan cap cip cup alias 21+, extra part novel saya yang judulnya You Are, ada adegan khusus dewasa Mahesa dan Clarissa di sana. Juga adegan Lessandro dan Anjani. Astaga, kenapa jadi kasih pengumuman yang nggak-nggak kayak gini sih?🤦🤦🤦🤦.

Ya sudahlah, selamat membaca. Arigato.

***

Mungkin memang tidak sepantasnya Dewa meluapkan amarahnya ketika melihat Laras pulang diantar dokter kelimis itu. Memang dia apanya Laras?

Tapi Dewa tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya melihat Laras pergi bersama lelaki lain. Apalagi ketika reaksi Laras terlihat acuh tak acuh menghadapi kemurkaan Dewa. Seakan dia sedang meninju kapas, tidak ada gunanya.

Akibatnya, saat makan malam wajah Dewa tertekuk. Tidak bisa menyembunyikan cemberut di wajahnya. Arfa yang melihat itu merasa heran. Orang setua ini masih suka ngambek? Memangnya dia bocah usia lima tahun?

Arfa tentu saja mendengar konfrontasi antara ibunya dan lelaki ini ketika ibunya baru saja pulang dari rumah sakit. Lelaki ini marah-marah karena ibunya pulang terlambat dan diantar dokter Kresna. Mirip suami yang cemburu melihat istrinya diantar pria lain. Cih!

"Kalau cemburu ngomong dong ... gak usah marah-marah gak jelas ... " Sindir Arfa disela-sela suapannya. Dewa menatap tajam pada bocah remaja tanggung itu, tapi yang dipelototi sama sekali tidak takut. Malah menaik turunkan alisnya seakan menantang. Seakan sengaja memancing kemarahan Dewa.

Dewa yang belum terbiasa punya anak, mana bisa bersikap sabar dan mengalah? Yang ada emosinya semakin tersulut.

"Kamu ngomong apa? Cemburu? Siapa yang cemburu?"

"Gak cemburu? Kok marah-marah, Om? Ibu bebas dong mau pergi sama siapa saja, gak perlu dilarang. Apalagi sama situ Om."

"Saya ini ayahmu, panggil yang benar. Ada gitu anak manggil ayahnya sendiri Om?" Decak Dewa mangkel. Kalau bukan putra kandungnya, mungkin sudah ia jewer telinga Arfa dari tadi. Kenapa bocah ini tidak pernah mau memanggilnya ayah? Sedangkan Larasati ia panggil ibu!

"Lah, memang kapan Om nikah sama ibu saya, hingga saya harus manggil ayah ke situ?"

Nah kan, kalau disuruh manggil Dewa, ayah. Ada saja bantahannya. Senang sekali bocah ini membangkang, merusak moodnya atau memantik amarahnya. Sama sekali tidak disadari Dewa, bila kelakuan Arfa ini mirip dengannya!

"Kamu mau saya nikah sama ibu kamu?"

"Nggak. Saya belum mau manggil Om, ayah."

Tiba-tiba terdengar helaan napas berat di meja makan itu. Keduanya kompak menoleh ke arah Laras yang tadi menghela napas berat. Wajahnya terlihat lelah. Capek mendengarkan pertengkaran ayah dan anak itu yang tidak ada habisnya. Persis anjing dan kucing kalau ketemu. Ribut terus.

"Arfa, kamu sudah selesai makan? Kalau sudah, jangan lupa kerjakan tugas sekolahmu. Minggu depan sudah ujian akhir kan?"

"Iya, bu."

"Gimana? Nggak ada kesulitan kan?"

"Tenang, bu. Anak ibu ini pasti peringkat pertama lagi."

"Percuma nilai bagus, kalau dapat sekolahnya yang mutunya biasa saja." Ini Dewa yang bicara,  nadanya agak meremehkan. "Kalau kamu ikut saya ke Jakarta, saya bisa sekolahkan kamu ke sekolah terbaik dengan standar kurikulum internasional."

"Oh, yang isinya anak-anak orang kaya sok keren dan suka ngebully orang, Om? Nggak deh, makasih. Lebih baik sekolah yang biasa saja, asal murid-muridnya bukan tukang bully," sahut Arfa santai.

"Kata siapa anak orang kaya itu suka bully? Kamu kebanyakan nonton drama yang gak bener. Jadinya punya pikiran yang nggak-nggak begitu."

"Dulu Om juga sekolah di sekolah yang katanya mutunya terbaik itu?" tanya Arfa.

"Tentu dong. Dari TK sampai high school, saya sekolah di sekolah terbaik. Bahkan kuliah di luar negeri saja universitas terbaik yang bergengsi." Dewa menjawab bangga. Ia pikir Arfa bertanya seperti itu karena merasa tertarik dengan sekolah yang ia sebutkan. Mungkin bocah itu akhirnya terbujuk juga.

"Pantas, kelakuan Om gak beres," ucap Arfa santai, setelah berkata begitu Arfa segera meninggalkan meja makan. Kembali ke kamarnya. Dewa ternganga mendengar ucapan anaknya yang tidak diduganya sama sekali. Belum sempat ia memarahi karena shock, Arfa sudah kabur dari situ.

Ia berpaling melihat ke arah Laras yang sedang bertopang dagu memperhatikannya.

"Kamu ... Arfa ... kenapa dia senang sekali membuatku marah?"

"Kamu gak capek bertengkar terus dengan Arfa?" Laras balik bertanya.

"Aku tidak akan bertengkar dengannya kalau dia bersikap sopan padaku dan mau memanggilku ayah!"

"Lucu."

"Apa?"

"Kamu lucu, bagaimana mungkin kamu berharap Arfa memanggilmu ayah setelah lima belas tahun kalian hidup sebagai orang asing satu sama lain?"

"Meski begitu, aku tetap ayahnya!"

"Tapi bagi Arfa kamu itu orang asing. Jangan lupa, selama ini yang dia tahu kakeknya itu adalah ayahnya. Bukan kamu."

"Tapi dia bisa dengan cepat menerimamu sebagai ibunya, kenapa denganku tidak?"

"Karena aku sudah bertahun-tahun berada di sisinya. Aku bukan orang asing baginya."

"Tapi dia juga baru tahu kamu ibunya belum lama ini. Selama ini dia cuma menganggap kamu sebagai tantenya kan?"

"Dan itu berkat siapa Arfa sampai tahu aku ibunya?" Sindir Laras. "Kalau kamu tidak muncul dalam kehidupan kami, tidak mengungkap kebenaran itu. Ia tidak akan tahu."

"Jadi kamu lebih suka Arfa tidak tahu? Lebih suka Arfa menganggapmu orang asing?"

"Aku bukan orang asing baginya! Aku hanya ingin melindunginya!"

"Dan kamu pikir aku tidak bisa melindunginya?"

"Dengan cara apa kamu ingin melindungi Arfa? Membawanya ke Jakarta? Menyekolahkannya di sekolah terbaik? Melimpahinya dengan semua materi dan uang yang kamu punya? Memanjakannya hingga menjadikannya pria arogan dan egois seperti kamu? Jika itu yang kamu lakukan, demi Tuhan. Aku lebih senang ia tetap membencimu dan tidak mau mengakuimu sebagai ayahnya. Daripada anakku tumbuh menjadi pria sepertimu!" Ada kegetiran dalam suara Laras yang diucapkannya begitu berapi-api.

Dewa membuka mulutnya ingin membantah, tapi melihat mata Laras yang dilumuri kesedihan dan rasa sakit. Kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokkannya. Membuatnya tak kuasa berkata apa-apa lagi.

Lembayung di ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang