"Apa yang sedang kamu rencanakan di belakang Dewa? Jadi selama ini kamu bekerja sama dengan perempuan tukang selingkuh itu tanpa sepengetahuan anak saya? Kamu memang licik Larasati. Persis seperti ibumu!"
Begitu masuk lift, kata-kata pedas Wina langsung tersembur tanpa ditahan lagi. Ia memandang Larasati di depannya dengan mata penuh kebencian yang tidak coba disembunyikannya.
Wina baru saja mengusir Priscila dari apartemen itu dan Laras sekarang terpaksa satu lift dengan Wina, menuju penthouse Dewa.
"Kalau bukan karena keinginan anak saya untuk mempekerjakan kamu sebagai perawat pribadinya. Sudah lama saya usir kamu dari sini. Heran, hebat benar dukun ilmu pelet yang kamu gunakan hingga membuat anak saya bisa bertekuk lutut begitu sama kamu. Perempuan kampung kayak kamu, yang cuma perawat rendahan bisa menaklukan lelaki konglomerat kayak anak saya.
"Kalau gak pakai dukun, saya gak bakal percaya Dewa bisa tergila-gila begitu sama kamu. Berapa susuk yang kamu pakai untuk menjerat anak saya, hah?"
Laras cuma melirik Wina tanpa berniat menjawab. Sebenarnya ia sudah malas meladeni ocehan perempuan tua itu, yang kerap menuduhnya yang bukan-bukan. Mungkin di matanya, cuma dirinya dan anaknya yang baik dan sempurna. Yang lainnya sampah.
Heran juga Laras, perempuan kaya dan kelas atas seperti Wina bisa tahu soal dukun dan susuk segala. Apa dia pernah berhubungan dengan dukun klenik sebelumnya, hingga bisa tahu begitu.
Mungkin saja kan, biar suaminya bisa duduk di bangku dewan. Atau memperlancar usahanya. Duh, kenapa dirinya jadi berpikir sinis seperti Wina?
"Perempuan zaman sekarang memang murahan. Demi menggaet lelaki yang banyak duit, tidak segan main dukun. Pasang susuk. Cih, gak tahu malu!" Wina masih mengoceh. Lupa dia dengan dirinya sendiri, yang juga sempat hamil sebelum nikah.
Tapi manusia memang seperti itu, dosanya sendiri tidak disadari. Tapi malah menghujat orang lain.
"Kalau anda sudah tahu saya main dukun, kenapa anda tidak pergi ke dukun klenik untuk membuat Dewa lupa sama saya? Sepertinya anda sangat berpengalaman soal perdukunan." Laras yang tidak tahan akhirnya buka suara. Nadanya seperti mengejek, membuat Wina melotot kesal.
"Kamu jangan kurang ajar ya. Mulutmu harus di sekolahin biar punya sopan- santun. Jangan kamu pikir karena Dewa selalu membelamu, saya tidak bisa mengusir kamu dari sini. Lagian kamu itu gak tahu malu ya, sudah ngakunya dihamilin anak saya. Sok-sok an pakai menghilang. Eh, sekarang nongol lagi dengan membawa anak kamu itu. Tinggal serumah pula. Kamu gak punya harga diri ya, tinggal satu rumah dengan lelaki yang bukan siapa-siapa kamu. Persis perempuan murahan!"
"Terserah anda mau ngomong apa," ucap Laras melihat lift sudah tiba di lantai tempat tinggalnya. "Kenyataannya saya tidak seperti yang anda tuduhkan. Kalau anda tidak suka melihat saya dan anak saya, tolong katakan pada Tuan Dewa yang terhormat agar membiarkan saya dan putra saya pergi dari sini. Maka saya akan sangat berterima kasih pada anda, nyonya Bramasta."
"Kamu ..."
"Ada apa ini?" Dewa yang melihat kedatangan ibunya dan Larasati bersama bertanya heran. Pasalnya dua orang perempuan yang datang berbarengan itu tidak satupun yang wajahnya ceria. Keduanya memasang wajah masam saling bermusuhan, seakan badai bisa datang kapan saja.
"Dewa. Kamu tahu, mama baru saja memergoki mantan istri kamu Priscila sedang berbicara di lobby dengan perempuan gak tahu diri ini. Mereka ternyata saling kenal. Mama yakin keduanya pasti sedang merencanakan sesuatu yang buruk di belakang kamu! Kamu jangan sampai tertipu oleh perempuan ini!"
"Merencanakan sesuatu yang buruk?" Dewa mengernyitkan alisnya. "Priscila tempo hari memang datang ke sini, ma. Dan dia sempat ketemu sama Laras. Dia mencarimu? Buat apa?" Pertanyaan terakhir ditujukan Dewa pada Laras.
"Oh, jadi kedatangan Priscila tempo hari memang sudah direncanakan ... Dan kamu pasti otak di belakang semua ini!" Wina menuding Laras dengan telunjuknya. Mungkin jika tidak ada Dewa, sudah diremasnya Laras menjadi remahan.
"Mah! Mama jangan menuduh sembarangan. Laras baru sekali bertemu Priscila, rencana apa yang dimaksud mama?"
"Baru bertemu sekali tapi sudah mengobrol akrab seperti itu? Kamu bisa menipu semua orang, Laras. Tapi kamu gak akan bisa menipu saya!" Lalu Wina berbalik memarahi Dewa. "Kamu juga! Kenapa selalu membela perempuan licik ini? Sudah jelas-jelas dia itu nipu kamu. Sok berlagak polos dan lugu. Tapi otaknya licik. Kalau kamu gak mau dengar omongan mama, Dew. Jangan sampai menyesal kalau terjadi apa-apa sama kamu!"
"Terjadi apa-apa, apaan sih ma? Laras dan Priscila itu gak saling kenal! Dewa bisa pastiin itu!"
Laras yang mendengar perdebatan ibu dan anak itu merasa bosan, lalu berjalan menuju dapur dengan kantong belanjaannya.
"Kamu yakin mereka berdua gak saling kenal? Mama yakin keduanya pasti sedang merencanakan sesuatu yang buruk di belakang kamu."
Sayup-sayup Laras masih mendengar perdebatan keduanya dari arah dapur yang merangkap ruang makan. Tanpa sadar ia menghela napas berat. Rasanya tubuh dan pikirannya sudah lelah sekali. Kenapa masalah tidak pernah ada habisnya menghampirinya?
Untung saja di jam segini Arfa masih di sekolah. Jika tidak, maka anak itu terpaksa harus mendengarkan ocehan Wina yang jauh dari kata ramah di kuping. Dan dengan temperamennya, Arfa pasti tidak akan keberatan berdebat dengan Wina jika itu menyangkut soal Laras.
"Ada apa Priscila datang menemuimu?" tanya Dewa setelah Wina pergi dari apartemennya. "Apa yang diinginkannya dari kamu?"
Laras yang sedang sibuk mengupas kentang untuk dibuat perkedel menghentikan kesibukannya. Ia meletakan pisau di tangannya dan berbalik menatap Dewa dengan tangan disilangkan.
"Cuma ingin melontarkan penghinaannya. Dia menuduh aku sebagai simpananmu."
"Cuma itu?"
"Juga... ingin aku membantunya membujukmu agar mau membiayai pengobatan anaknya."
"Kamu setuju?"
Laras angkat bahu. "Mungkin, jika saja dia tidak melontarkan hinaan seperti itu."
"Hinaan kalau kamu simpananku?"
Laras mengangguk. Dewa menyeringai mendengarnya. "Kamu mau?"
"Mau apa?" Laras mengernyitkan alisnya.
"Menjadi simpananku."
"Tidak di kehidupan ini ataupun di kehidupan selanjutnya, bila ada."
"Kenapa? Aku bisa memberikan segalanya. Uang, perhiasan, pakaian bermerek, liburan kelas atas. Semua yang diimpikan wanita. Tidak buruk kan? Yang perlu kamu lakukan cuma membuka pahamu."
"Kamu sakit!" Geram Laras mendengar ucapan Dewa yang begitu provokatif dan menjijikan. "Carilah pelacur jika kamu sebirahi itu."
"Kenapa aku harus mencari perempuan panggilan jika ada kamu di hadapanku? Selama bertahun-tahun ini, kamu belum pernah disentuh lelaki lainkan? Cuma aku satu-satunya yang pernah menyentuhmu. Benarkan?"
"Kamu benar-benar menjijikan, Dewa! Bajingan sampah! Belum puas kamu menyakitiku, kamu masih melecehkanku seperti ini?"
"Jujur saja, Laras. Selama berbulan-bulan berada di dekatmu, aku membayangkan bagaimana rasanya menidurimu lagi. Aku masih ingat desahanmu juga rasa tubuhmu di bawahku."
"Sampah!" Jijik rasanya Laras mendengar semua omong kosong Dewa yang penuh dengan pelecehan dan merendahkan seperti itu. Yah, seharusnya Laras sadar. Sekali bajingan, tetaplah bajingan. Tidak akan pernah berubah sama sekali.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Laras pergi meninggalkan dapur. Pergi dari hadapan Dewa. Masih sempat di dengarnya tawa Dewa sebelum Laras berlari kembali ke kamarnya.
Jika bisa, ia ingin pergi dari sini. Jauh dari Dewa. Jauh dari semua masalah yang membelitnya.
***Terima kasih untuk semua doa kalian. Alhamdulillah, benjolan di tubuh saya kata dokter bukanlah tumor tapi kelenjar. Dan itu tidak berbahaya. Meskipun begitu saya tetap harus berobat agar tetap sembuh seratus persen.
Karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih untuk doa kalian semua teman-teman. Jaga kesehatan ya. Karena sehat itu mahal harganya.
Jangan lupa follow, vote dan commentnya teman-teman. Tetap dukung karya saya ya. Baik di wattpad maupun karyakarsa. Arigato. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung di ujung Senja
Fiction généraleBagi Dewa Putra Bramasta, Larasati adalah serangga pengganggu. Kehadiran gadis itu sama buruknya dengan ibunya yang tanpa malu merayu kakeknya demi harta. Karena itu ia melakukan berbagai cara untuk membuat gadis itu menderita. Membully, melecehkan...