18. Jejak Bintang yang Menghilang

190 38 1
                                    

Gemerisik kertas yang berpindah halaman memenuhi satu ruangan temaram yang berada di pojok bangunan Dinas Keselamatan Ewa-Lani. Seorang pria berambut auburn yang berkutat dengan puluhan arsip di meja kayu kecil tampak berkonsentrasi seolah tak terganggu sedikitpun dengan dengkur Jam yang tertidur pulas di atas rangkaian kursi yang ditumpuk memanjang.

Menit demi menit yang berlalu tak lekas membuat mata cokelatnya lepas dari rangkaian kata yang memenuhi setiap lembar dokumen. Ia terus membaca, meneliti dan menyimpan informasi yang dirasa penting dalam memori otaknya.

Meski Jes terus mengatakan tidak ingin terlibat dengan kasus Charise namun alasannya tetap terbang ke Hokuokalani adalah karena banyak hal yang mengusiknya dan Jes meyakini kasus pencucian uang yang sedang ia selidiki tidaklah sesederhana yang terlihat.  Atau mungkinkah ini semua jebakan yang sudah disusun sedemikian rupa hingga Jes tanpa sadar terjerat di dalamnya?

Barulah saat debur ombak yang saling berkejaran juga bau asin laut yang menyelusup melalui celah-celah ventilasi membuahkan rasa kantuk yang luar biasa, Jes melirik arlojinya. Pukul tiga dini hari.

Ia menarik napas panjang sembari memejamkan mata hingga sesuatu dalam saku celananya meluncur turun, menghasilkan suara denting logam yang beradu dengan lantai keramik. Orion terdiam menatap foto di dalam liontin yang terbuka. Pemandangan kediaman Charise yang ia datangi siang tadi berkelebat begitu jelas.

Atap kayu lapuk yang habis dimakan rayap menggambarkan dua orang tua yang telah ringkih dimakan usia. Barisan foto pudar yang menghiasi dinding retak seolah menjadi saksi bisu dua orang tua yang terus meratapi hilangnya sang putra hingga gila dan buta. Ranjang kosong dan perabot yang berantakan menjadi bukti bahwa tak ada lagi canda tawa indah yang sebelumnya menghangatkan ruangan.

Mereka terlalu sibuk menangisi luka, menghabiskan waktu mengutuki lara hingga melupakan eksistensi seorang adik perempuan yang juga bersedih karena merasa dibuang. Mengacuhkan seorang putri yang akhirnya memilih pergi dan berakhir tragis tanpa mengucapkan salam perpisahan seperti sang Kakak laki-laki. Kini, tak peduli betapa memilukan raungan, seberapa banyak air mata darah yang tertumpah ataupun kata-kata maaf yang terlontar, Charise Hainuwele tak lagi dapat teraih dalam pelukan.

Andai saja lubang itu dapat ditutup dengan lapang dada dan bukannya dibiarkan kian menganga dan menggerogoti hingga ke pembuluh darah, mungkin saja senyum manis itu masih setia menyambut mereka di tempat yang disebut rumah.

Penyesalan selalu datang terlambat.

Begitulah kalimat yang selalu Kakek Jes ucapkan. Kata-kata yang menyentil hatinya untuk bertanya, apakah sang Ayah pernah merasakan hal semacam itu?

ARRRRGGHHHH.

Jeritan histeris yang bergema keras sekali bukan hanya menyadarkan Jes dari lamunan tapi juga membangunkan Jam dari mimpi buruknya. Pria 32 tahun itu bahkan nyaris terjatuh dari kursi.

"Apa? Kenapa? Ada apa?" tanyanya dengan mata sayu.

Melihat Jes yang bergegas keluar untuk mencari tau membuat Jam tak punya pilihan lain selain mengikutinya. Suara-suara bising semakin jelas terdengar tatkala kakinya melangkah menuju resepsionis.

PRANGG.

Pecahan gelas yang melayang menabrak dinding nyaris saja mencoreng pipi Jam bila ia tak menghindar tepat waktu. Rona wajahnya berubah pucat terlebih ketika mendapati keadaan ruangan yang porak poranda. Kursi dan meja terbalik, monitor hancur berkeping, kertas-kertas berserakan dan seorang petugas wanita yang tengah berjaga kewalahan menghadapi amukan sepasang tamu yang datang.

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang