12. Si Empunya Bakung Lelabah Merah

319 54 14
                                    

"Aku tak pernah menyangka akan terkejut olehmu, Rachata."

"Eerrr... Tentang itu..."

"Katakan lagi apa yang baru saja wanita bertopeng itu ucapkan padaku?"

Dalam hati, Jam mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa keceplosan di depan seorang Jespipat yang notabene memiliki intuisi setajam damaskus dan kecurigaan setinggi Makalu?

"Kau tau sudah terlambat untuk berpura-pura tak mengerti."

Yang lebih tua menelan ludah gugup. "Si empunya bakung lelabah merah yang menebar racun di setiap ketukan langkah. Seperti kelopak dan mahkota yang tumbuh berlawanan waktu, kesendirian akan selalu menyertai. Jangan sampai tersesat untuk kali kedua," jawabnya terbata. "Ka... Ka... Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Sepertinya wanita tadi hanya bicara melantur." Telunjuk Jam mengarah pada pria yang memegang sebatang poppy merah di dekat keduanya. "Dia bahkan diharuskan untuk berhati-hati pada bintang tersesat. Itu bukan berarti dia akan ditabrak meteor, kan?"

 Itu bukan berarti dia akan ditabrak meteor, kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa aku terlihat peduli?"

Kekehan Jam lenyap seiring hancurnya lycoris radiate di bawah sol boots Jes. "Hah? Oh... Ummm, tidak. Tentu saja tidak."

"Jadi, dimana penginapannya?"

"Apa? Ah, penginapan, benar. Errr..., sebentar." Jam buru-buru mengeluarkan ponselnya. "Pondok Halia, jaraknya kira-kira sepuluh menit dari sini."

"Cepat tunjukkan jalannya."

Ahh... Seandainya saja, waktu itu Jam menutup mulutnya rapat-rapat, maka dia tidak akan terjebak bersama pria tukang perintah di sebuah pulau bercuaca ektrem yang sanggup melelehkannya hingga ke tulang. Kalau saja waktu itu Jam menuruti isyarat Neng untuk pergi, bisa dipastikan saat ini dia tidak sedang menyeret dua koper besar di daratan berpasir dengan perut keroncongan. Dan jika saja Kapten Scott tidak menerobos masuk di saat ia sedang berceloteh tentang Hokuokalani, maka dia tidak mungkin ditugaskan untuk mendampingi Jes hingga bermil-mil jauhnya dari Braeden City.

Demi Tuhan, mengapa nasibnya bisa sesial ini?

Neng dan Tree –yang memerciknya dengan air suci yang susah payah mereka dapatkan dari seorang Uskup di Eugenia- bahkan terus menatapnya nanar sampai pada waktu keberangkatannya melintasi benua.

"JAM!! OIII... RACHATA!"

Jentikan jari diikuti teriakan menggelegar menyadarkan yang lebih tua dari kegiatannya meratapi ketidakberuntungan.

"18 jam waktu tidurku yang berharga sudah lenyap karena ulah seseorang yang mabuk udara. Jika kau tidak ingin kutendang kembali ke Braeden City, sebaiknya kau tunjukan jalannya SEGERA!"

Seharusnya aku muntah saja sekalian di badanmu, BRENGSEK!

"Kau pikir aku hanya menggertak?!"

Bagaimana jika kulempar koper ini tepat ke kepalamu, SIALAN!

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang