28. Perintah tak Terduga

155 39 9
                                    

JLEGER!!

Seperti hamster karet dalam permainan whack a mole, Jam terus menerus terlonjak setiap kali mendengar suara petir menyambar. Kecepatan Camaro yang tidak menurun saat menembus badai ini juga tak banyak membantu. Satu-satunya yang bisa dilakukan Jam sekarang hanyalah menyatukan kesepuluh jemarinya erat-erat pada grip dan berharap agar si pengemudi tidak kehilangan kendali lalu berakhir terjun ke jurang.

Sungguh, bagaimana Jes mampu melihat jalanan saat wiper bahkan tak mampu menghalau buram dari hujan deras yang mengguyur?

CKKIITTT.

Gesekan antara ban basah dengan aspal licin membuat rem tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Camaro hitam berputar dua kali sebelum akhirnya berhenti tepat di sisi lembah terbuka. Dari jendela, cahaya menara suar di kejauhan timbul tenggelam bersama guntur sedangkan pemandangan lautan yang tengah mengamuk tersaji begitu jelas. Ganasnya ombak yang memukul tebing memercik tinggi ibarat monster yang mencari celah. Jam mencoba menghirup udara banyak-banyak selagi jantungnya berdebar cepat. Untuk sesaat, dia bahkan berpikir malaikat maut berhasil mencabut organ paling vital di tubuhnya itu.

"Kau baik-baik saja?"

Bolehlah Jam menertawakan pertanyaan Jes? Memang rekannya itu tidak melihat wajah Jam yang sudah sepucat mayat? Untung saja ia belum sempat memasukkan apapun ke perutnya selama beberapa jam terakhir sebab kalau tidak Jam yakin pasti sudah memuntahkannya kembali.

"Apa yang terjadi?"

"Longsor."

"HAH?"

"Ada longsoran di depan sana."

Meski Jam menyipitkan matanya yang tertangkap hanyalah curah air dalam jumlah tak terbatas. "Lalu, bagaimana sekarang?"

Jes memutar tubuhnya sembilah puluh derajat ke belakang dengan lengan tetap di kemudi. Getaran yang dihasilkan ketika ban depan sebelah kanan berusaha melepaskan diri dari tepian jurang membuat Jam mendadak menjadi religius. Sembari memejamkan mata, mulutnya tak henti komat-kamit mengucap doa.

Syukurlah permintaannya terkabul. Pria yang lebih tua itu setidaknya bisa sedikit bernapas lega ketika keempat roda Camaro kembali menjejak di aspal rata.

"Enggg... Apa kau benar-benar tidak ingin memikirkannya kembali, Detektif? Kau tau, tentang keluarga Hainuwele."

Perhatian Jes tercurah penuh pada jalanan.

"Atau setidaknya biarkan aku mengecek hasil otopsi mereka. Kau pasti tau ada yang aneh dengan kasus bunuh diri ini."

"Jam Rachata." Iris Jes bersinar terang dalam cuaca kelabu. "Aku tidak main-main dengan ucapanku. Jika kau tidak ingin celaka, berhenti segera dari kasus Charise."

JLEGER!!

Kali ini Jam melompat hingga kepalanya menghantam langit-langit mobil. Serius, bagaimana timingnya bisa begitu pas persis adegan dramatis di film-film?

"Dan kuperingatkan, menjauhlah dari lautan."

JLEGER!!

SIAL! SIAL! Sekujur tubuh Jam langsung bergidik. Ia tentu ingat betul, terakhir kali seseorang dari Departemen Lalu Lintas mengabaikan ultimatum Jes, petugas itu berakhir di Rumah Sakit dengan kedua kaki patah. Kejadian itu tentu saja langsung menimbulkan kasak kusuk yang terbagi menjadi dua kubu. Sebagian mempercayai bahwa Detektif pendatang itu seorang cenayang sementara yang lain meyakininya sebagai sebuah kutukan.

***

Chevy S-10 berwarna merah kusam yang terparkir di halaman cukup untuk menghasilkan kerutan di kening Jes. Apalagi saat aroma kopi yang yang dihasilkan dengan teknik manual brew tercium tajam di seluruh pondok. Beberapa biji gesha berhamburan di lantai. Sebuah grinder, dripper dan teko bekas pakai bahkan masih tergeletak di atas meja makan.

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang