Terlalu banyak hal yang mengganggu pikiran Jes. Ia tahu ada sesuatu yang terlewatkan. Jadi, pria itu memutuskan untuk kembali menyambangi hotel Bhramar tanpa menggubris keberadaan seorang pria yang terus mengekori dengan segelas kopi hangat di tangan.
"Kau memilih tempat kencan yang tak biasa," kata Mantrisanu. Ketukan chukkanya menggema di sepanjang anak tangga yang tengah mereka daki.
"Saya tidak pernah memaksa. Anda yang bersikeras, Soranun."
"Man, cukup Man atau Trisanu. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling memanggil dengan sebutan formal?"
"Dan kapan tepatnya itu?"
Pria itu tertawa pelan. Dua tahun mengenal Jespipat –menguntit lebih tepatnya- ia telah terbiasa dengan kalimat pendek maupun sikap tak acuh yang ditunjukkan pria bermata almond itu. Bahkan, pernah dalam satu pertemuan –yang tentu saja direncanakan olehnya-, ketika Mantrisanu terjerembab karena tali wingtip yang dikenakannya tidak terikat sempurna, Jes sama sekali tidak menggerakkan seujung jaripun untuk membantu. Meskipun jika dipikir-pikir lagi, tentu saja tidak ada alasan logis bagi seorang Jespipat untuk menolong pria dewasa bertubuh 190 sentimeter berdiri.
Kepribadian egois dan tak tersentuh inilah yang berhasil menjungkir balikkan dunia Mantrisanu Soranun yang monoton. Terlebih tatapan misterius yang selalu Jes tunjukkan setiap kali terpaksa harus bersentuhan dengan orang lain selalu membangkitkan rasa penasaran dalam dirinya, menggelitik kesepuluh jemarinya untuk menjatuhkan pria itu ke ranjang lalu mulai mengeksplorasi setiap inchi tubuh kekarnya.
Tentu saja Mantrisanu akan memulainya dengan bagian paling vital yang mana juga merupakan favoritnya. Ia akan menggunakan scalpel untuk melakukan insisi (metode penyayatan) pada prosesus mastoideus (tulang yang menonjol di belakang telinga) menelusuri vertex melintang tulang pariental (ubun-ubun) dengan pola semisirkular.
Selanjutnya little man -stryker saw kesayangannya- akan dibutuhkan untuk membuka tulang tengkorak diikuti insisi midline pada sinus sagitalis superior barulah setelah itu ia memiliki akses penuh ke dalam organ yang memiliki milyaran sel saraf dan neuron. Dan jika semua hasratnya dan rasa ingin tahunya telah terpenuhi, maka saatnya ia beralih ke eviserasi (tindakan mengeluarkan organ toraks dan abdomen dari kavitas).
"Saya telah membelikan kopi sesuai permintaan anda, sekarang bisakah anda segera angkat kaki sebelum aromanya berbaur dan menodai TKP?"
Suara datar Jes menghapus seringai di wajah Mantrisanu. Fantasi liar yang sempat menari-nari di benaknya sekaligus memicu adrenalin hilang dalam hitungan detik. Rautnya bahkan langsung berubah innocent.
"Kau selalu begitu sensitif, Tilapornputt."
"Dan ketidakliabelan anda saat ini bisa saja menghilangkan setitik petunjuk penting, Soranun."
"Mempertimbangkan nilai kompetensimu selama ini, aku yakin bahwa kau tidak benar-benar merasa terganggu."
Jes mendengus. Bagaimana dia bisa lupa bahwa berbicara dengan seseorang berkulit tebal macam Mantrisanu hanya akan membuat darahnya mendidih. Pria itu seperti parasit yang terus menghisap nutrisi jika tidak dipangkas sampai ke akar.
"Ngomong-ngomong, harus kuakui kalau fasilitas di hotel ini tidak terlalu buruk, tapi bukankah penomoran kamarnya agak aneh? Atau mereka sengaja membuat konsep semacam ini untuk menarik perhatian pengunjung?"
Mantrisanu memperhatikan bahwa dari total sepuluh kamar yang saling berhadapan di lantai enam hotel Bhramar, ia melewati nomor 4.08, 4.12, 3.58, 4.30 dan 2.85 di sebelah kiri diikuti 3.77, 3.69, 4.13, 3.05 dan TKP-5.08- di seberangnya. Deretan angka itu mau tak mau mengingatkannya pada magnitudo.
"Ahhh... Apa kau benar-benar tidak ingin mempertimbangkan tawaranku untuk mengunjungi Kepulauan Canaria?"
"Tidak."
"Ayolah. Siapa tau kau menemukan petunjuk tentang Ibumu di sana."
"Bukan urusan anda."
Untungnya, bau bangkai bercampur anyir darah yang mendominasi ketika mereka melangkah masuk ke TKP membuat kalimat lain yang akan terlontar dari bibir pria berdarah campuran itu menguap begitu saja. Keadaan kamar yang masih sama –minus potongan tubuh yang tergeletak- seperti terakhir ditinggalkan lebih menarik perhatiannya sekarang.
"Tak kusangka kalau pemandangannya akan jauh lebih indah... Ummm... Maksudku lebih buruk dibandingkan dengan foto yang kuterima." Mantrisanu bersedekap selagi menatap takjub dinding bercat merah gelap di hadapannya. Sesekali, ia bahkan dengan santai menyeruput kopinya.
Seandainya saja Jes dapat mengetahui apa yang ada di dalam imajinasi pria itu sekarang, jemarinya pasti sudah bersiap menekan pelatuk pada pistol yang tersembunyi di balik mantel panjangnya.
Sayangnya, hal seperti itu tentu tidak mungkin terjadi. Alih-alih mempersenjatai diri, Jes justru berdiri membelakangi Mantrisanu tanpa proteksi. Iris cokelatnya sibuk menyapu setiap sudut ruangan tanpa terkecuali dan membiarkan hippocampus merekamnya secara terperinci.
Jelas ada sesuatu yang kulewatkan? Tapi apa?
Lelaki itu menarik sebatang pensil sekaligus merobek kertas memo yang tersedia di atas meja nakas lalu mulai menarik garis di sana-sini.
"Kau sengaja mempertontonkan wajah seriusmu ini supaya aku terjerat pesonamu lagi, Jespipat?"
"Saya tidak pernah berusaha."
"Kalau begitu, apa artinya aku akan terperangkap selamanya jika kau berusaha?"
Pria itu memutar bola matanya jengah. Terus terang, ia lebih suka berduel dengan perampok bersenjata dibanding berhadapan dengan rentetan kalimat absurd Mantrisanu yang membuat sekujur tubuhnya bergidik tanpa alasan.
Ingatkan lagi dirinya untuk mengutuk Fluke! Kalau bukan karena ulah Ketua Tim forensik Ezequil itu, Jes tentu tidak perlu mengenal seorang Mantrisanu Soranun.
"Biar kutebak! Nilaimu dalam mata pelajaran seni rupa saat sekolah dulu pasti sangatlah buruk," celoteh Mantrisanu sembari terkekeh saat memandang hasil gambaran Jes. "Tapi tenang saja, aku lebih tertarik pada seseorang yang mumpuni di bidang Physical education."
"Anda yakin kalau kopi yang anda minum mengandung kafein dan bukannya alkohol?"
"Huh?"
"Bicara anda benar-benar melantur."
Tapi, pria itu malah tersenyum lebar dan memiringkan kepalanya lima belas derajat. "Katakan saja itu benar, lalu bagaimana dengan pola yang baru saja kutemukan? Apa itu juga hanya khayalanku semata?"
Kepala Jes bergerak kaku mengikuti arah telunjuk Mantrisanu. Matanya menyipit mengamati guratan garis yang tersamarkan oleh warna dinding. Semakin diteliti semakin ia menyadari bentuk bibir yang tercetak di sana.
"Mengingat kehebohan yang mendadak terjadi, aku akan memaklumi jika hal kecil semacam ini luput dari perhatian."
"Apa anda sudah mempertimbangkan bahwa ini milik korban?"
"Tidak. Bisa kupastikan kalau bentuk dan ukurannya berbeda dengan milik Miranda Vladislava. Lagipula ada noda lipstik di sana."
"Maksud anda..."
"Ya, Jes." Iris hazelnya berkilau penuh kesenangan. "Persis seperti dugaanmu, pelakunya mungkin lebih dari satu orang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Star in the Water | JESBIBLE
FanfictionKetika pemuda yang selalu dikuntit maut itu akhirnya bertemu dengan seseorang yang dinaungi oleh cahaya, bagaimanakah jalinan takdir yang akan tercipta ditengah kematian yang mengelilingi? ---------------------------------------------------------- L...