19. Cetus sang Malapetaka

283 54 3
                                    

"Aku benar-benar terkejut ketika melihat anda digiring oleh para petugas. Bahkan lebih syok saat mandapati Film masuk tak lama sesudahnya. Firasatku langsung mengatakan ada yang salah. Lalu aku mencoba mencari informasi dan mengetahui bahwa tersangka yang disebutkan adalah anda, Tuan Bible," terang Jam. "Tapi, saat kulihat pria yang memberi kesaksian adalah orang yang sama dengan yang memulai perkelahian di bar tempo hari. Aku yakin dia pasti berbohong."

Bible –yang mulai menetapkan jarak aman dengan Jes- terus mengangguk selagi mendengarkan. Meski keterlibatannya dalam kasus penculikan ini jelas adalah nol persen, Bible tetap membutuhkan kronologi lengkap tentang penangkapannya untuk berjaga-jaga jikalau ia berencana menuntut Dinas Keselamatan Umum Ewa-Lani kedepannya. Hei, coba kalian bayangkan jika informasi semacam ini bocor ke publik dan dengan sifat media yang senang melebih-lebihkan, imej Bible bukan hanya tercoreng tapi bisa langsung hancur dalam satu kali click bait judul tak bertanggung jawab.

"Lalu selanjutnya para Detektif menawarkan bantuan padaku," tambah Film.

"Para? Maksudmu keduanya?"

Pemuda itu mengangguk. "Kalau bukan karena mereka, orang sinting itu sudah pasti mendatangkan musibah untukmu, Bible."

Kata-kata sang wanita Ewa-Lani kembali bergulir dalam ingatan.

"Dan atas dasar apa kau lebih memilih untuk mempercayaiku, Detektif?"

Jam melirik Jes. Ia sadar benar pertanyaan ini ditujukan untuk mitranya jadi untuk kali ini ia tutup mulut.

"Gestur, tatapan mata dan keterangan yang tidak konsisten. Ahh... Jangan lupakan sejarah kalian berdua. Bagiku, motifnya sangat jelas terbaca. MENJEBAKMU."

"Makanya anda merasa perlu bersusah payah menelusuri DVR mobil, begitu?"

"Aku hanya benci melihat ketidakadilan."

"Apa itu berarti anda sudah menyaksikan banyak kasus ketika seseorang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman hanya karena bukti dan kesaksian mengarah padanya tanpa penyelidikan lebih lanjut?"

Pemilik andradite itu mengangkat bahu. "Dunia tidak mungkin berputar sesuai kehendak kita, bukan begitu Wichapas Sumettikul?"

Lagi, perasaan tak nyaman itu kembali menggerogoti seolah tercekik di kedalaman samudera. Jantungnya berdebar tak karuan dan kakinya mulai terasa tak mampu menopang beban tubuhnya. Bible buru-buru memalingkan wajah seraya mengatur napas namun pemandangan yang tertangkap oleh retinanya pun tak kalah mengerikan.

Bukan hanya satu atau dua wajah laki-laki dan perempuan yang dipenuhi senyum tak berdosa, yang dihiasi mata-mata lugu dan menganggap bahwa bumi adalah tempat bermain sekaligus berpetualang yang menyenangkan tetapi banyak. Banyak sekali hingga mereka saling bertabrakan, tumpang tindih dan berlomba untuk terpampang menjadi yang terdepan dengan harapan anak-anak yang waktunya dihentikan secara paksa itu dapat segera ditemukan supaya kembali ke pelukan hangat keluarganya.

Mengingat riset yang pernah ditulis Sittichai untuk salah satu episode CRAVE, data UNICEF mengindikasi bahwa ratusan ribu hingga jutaan anak telah mejadi korban pelecehan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, penculikan, perdagangan manusia dan organ tubuh. Meski berbagai sistem telah dibuat untuk tidak pencegahan, kenyataannya jumlah tersebut malah terus meningkat setiap tahunnya.

Negara-negara yang pendapatan per kapitanya jauh di bawah negara maju, yang tingkat kejahatannya tinggi, yang dikuasai oleh kartel-kartel mafia maupun narkoba, yang masih menjunjung tinggi kasta dan patriarki menyumbang presentase terbesar.

Orang lanjut usia dan anak-anak yang terutama merupakan pihak terlemah dalam rantai kehidupan secara mengerikan terdorong menjadi sumber makanan para omnivora. Beberapa selamat, yang lain mendapat luka fisik juga mental yang sangat berat, tak sedikit yang akhirnya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa namun tak pernah ada angka pasti tentang berapa banyak korban anak-anak yang berjatuhan bahkan hingga detik ini.

"Jangan terlalu lama menatapnya, Bible," tegur Film gusar. "Atau Cetus akan murka."

"Cetus? Apa maksudmu sang monster lautan pembawa malapetaka?

Mata pemuda 32 tahun itu sontak melebar. "Kau mengetahuinya juga, Detektif Jam?"

"Err, bukan begitu... Ya, maksudku... Aku pernah mendengarnya, errr lebih tepatnya seseorang pernah menceritakannya padaku."

"Kalau begitu kau juga pasti tau tentang kutukan Ewa-Lani?"

Jam melirik Jes yang meski tak ikut bersuara namun tatapannya jelas menuntut penjelasan. "Engg... Soal itu kurasa aku juga mendengarnya sedikit, engg... Dari Jjay dan Tonkla. Tentang para leluhur yang membuat kesalahan hingga para Dewa murka dan mengirim Cetus untuk mengambil sesuatu yang paling berharga bagi mereka." Pria itu lantas menutup mulut ketika orang tua Maretta berjalan melewati mereka. Rasa lelah, kecewa, putus asa dan marah tergambar jelas pada raut wajah keduanya. "Kau tau, semacam Tulah terakhir yang diturunkan Tuhan pada bangsa Mesir," lanjutnya sepelan mungkin.

Jes memasukkan kedua kepalan telapaknya ke saku celana. Berkat penjelasan Jam sekarang semuanya terlihat lebih masuk akal. Sikap tak acuh para petugas, keengganan menelusuri TKP dan pengabaian mencari saksi mata yang kongkret.

Ada penjahat yang lebih besar dibanding sang penculik sendiri yang tak mungkin dapat dilawan karena tak terlihat, yang telah turun temurun dipercaya hingga sanggup mencuci otak untuk meyakini bahwa kehilangan anak adalah hal yang lumrah karena dosa-dosa yang telah diperbuat hingga melupakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta.

Pranata Adat.

Dan foto-foto yang tercetak di kertas lusuh inilah yang menjadi saksi bisu ketidakberdayaan terhadap tradisi.

Hati pria berambut auburn itu mendadak mengiba pada sepasang suami istri yang harus menelan kekalahan sebelum berperang. Yang dipaksa merelakan tanpa alasan. Yang terisak dengan air mata mengering. Yang akan mengutuk dirinya sendiri hingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk penyesalan.

"Sepuluh tahun."

Jes menoleh.

"Kudengar mereka harus menunggu sepuluh tahun untuk mendapatkan Maretta, itupun setelah dua kali gagal dalam in vitro fertilization (bayi tabung)."

"Lalu?"

Raut Jam berubah pahit. Naif sekali jika ia mengira informasi menyedihkan semacam ini dapat melelehkan sanubari Jes yang membeku bak benua Antartika. "Tak bisakah kita membantu? Atau setidaknya meringankan beban?"

"Tak peduli berapa ratus kalipun kau menanyakannya, jawabanku akan tetap sama. TIDAK!!"

Kali ini, Jam memandang Film.

"Maaf, tapi semua orang pasti kehilangan, Detektif Jam. Lagipula aku tidak memiliki kewenangan."

Tak putus asa, ia beralih pada Bible. Bola mata sewarna kacang kenarinya terus memandang tanpa berkedip, mengharapkan setitik keajaiban. Entah darimana asalnya tapi ada pemikiran kuat bahwa jika pria beraut judes ini bersedia maka Jes juga akan mengikuti.

Jam menunggu, cukup lama hingga Bible akhirnya mengalihkan perhatian dari deretan kertas lusuh di dinding.

"Apa yang bisa kau harapkan dari seorang yatim piatu sepertiku, Detektif?"

***

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang