9. Bintang Surga

368 55 17
                                    

Ketika raungan Plymouth Fury akhirnya berhenti di satu rumah kecil bercat putih tulang, Jam langsung menyadari ada sesuatu yang tak beres. Keberadaan sang Kapten dengan rokok terselip di jemari juga wajah muram Max membuat lelaki itu semakin yakin akan menerima kabar buruk.

"Kita tertinggal selangkah," kata Korn yang kebetulan berpapasan dengannya. Sedangkan Jes -seperti biasa- langsung berjalan lurus seolah tak melihat siapapun.

"Apa dia sudah melarikan diri?"

"Lebih buruk."

"Maksudmu?"

"Sebaiknya kau melihatnya sendiri." Korn enggan –atau bingung- untuk menjelaskan keadaannya. "OOHH... DAN SIAPKAN PERUTMU!! JANGAN SAMPAI KAU MUNTAH SEPERTI TREE!!"

Terlambat.

Jam sudah melewati pintu ketika bau busuk berebut masuk ke indra penciumannya. Rasanya seperti berada di tempat pembuangan sampah dengan material organik dan non organik yang berbaur menjadi satu. Refleks, pria itu menutup hidung dengan punggung tangan.

Suara shutter yang terdengar berkali-kali disertai blitz kamera membuat langkah Jam melambat. Apalagi ketika matanya menangkap siluet jangkung Mantrisanu yang berdiri membelakangi. Tak mungkin ada alasan lain bagi seseorang yang bekerja dalam bidang forensik untuk berada di sini selain sesuatu yang berhubungan dengan mayat.

Apa yang terjadi sebenarnya?

"Dengan pertimbangan suhu dan kelembaban, sepertinya kurang dari sepuluh jam."

"Anda yakin?"

"Rigor mortis (kekakuan tubuh) hanya mampu memberikan petunjuk kasar, Jes. Tapi, masih lebih baik ketimbang menilainya lewat livor mortis (lebam) karena intensitas maksimal baru dapat dipastikan sekitar 3 x 24 jam. Variasinya pun terlalu besar untuk digunakan sebagai indikator penentu waktu kematian."

"Apa tulang rusuk sebelah kirinya belum ditemukan?"

"Jika pelaku tidak berkeinginan untuk menyimpannya sebagai trofi, besar kemungkinan dia menyembunyikannya di sekitar sini."

"Lalu, bagaimana dengan jantung dan hatinya?"

"Sepertinya sengaja dibekukan."

"Dengan alasan?"

"Memamerkan maha karyanya."

HOOOEEKKK.

Bukan, itu bukan Jam melainkan Neng. Sepertinya, pria yang mempercayai takhayul itu sudah tak sanggup lagi menahan rasa mual karena pemandangan sekaligus percakapan dua orang manusia di depannya.

"Sebaiknya kau keluar daripada mengotori TKP."

Kali ini, Neng tidak protes apapun pada Jes. Dengan telapak yang masih membekap mulutnya sendiri ia permisi. Tak lupa memberikan tatapan tak berdaya juga gelengan lemah pada Jam yang masih mematung di tempat. Sayangnya rasa penasaran dalam diri pria itu lebih mendominasi dibanding keraguan yang memenuhi pikirannya. Jadi, ia memantapkan tekad lalu melangkah masuk.

Tubuh telanjang Charise Hainuwele adalah hal pertama yang tertangkap iris kacang kenari milik Jam. Rambut hitamnya yang menjuntai ke lantai berbaur dengan genangan darah yang tampaknya keluar dari luka sayatan di leher.

Dan dua menit berikutnya barulah ia menyadari bahwa benda yang dikiranya secarik kain untuk menutupi tubuh Charise tak lain adalah kulit bagian dada dan perut yang telah dibedah –dan dibiarkan menganga- dengan begitu rapi persis seorang Dokter yang melakukan prosedur torakotomi dan laparotomi. Tatapan lelaki itu bergeser ke atas meja dekat ranjang. Di sana berdiri kokoh sebuah timbangan dengan jantung dan hati yang beratnya seimbang.

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang