29. Ele Nui

272 48 2
                                    

Alkisah hiduplah seorang prajurit yang karena mengikuti perintah dari Atasan akhirnya diberhentikan secara tak hormat dari Militer. Dirundung rasa malu juga terus dihantui rasa bersalah karena telah membunuh banyak nyawa tak berdosa, ia menyembunyikan diri dari dunia dengan terus berpindah-pindah hingga pada satu waktu ia merasa kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Apa yang membuatmu sakit, kau tampak sangat sedih?"

Pertanyaan yang diajukan oleh wujud serupa Hawa di sebuah dataran hijau luas yang berpadu padan bersama birunya perairan tentu menjadi kejutan yang sangat tidak disangka-sangka bagi sang prajurit yang terbiasa dengan tudingan, caci maki juga hinaan.

"Mengapa engkau tak menjawabku, wahai pengembara?"

Senyum hangat yang terpancar dan binar ketulusan yang berkilauan seumpama bintang-bintang di air membuat si prajurit tertegun. Namun, terlalu lama berada di peperangan memberinya satu pelajaran berharga. Jangan terlalu mempercayai kebaikan yang disodorkan terang-terangan karena Iblis begitu cerdik melakukan tipu muslihat.

"Pergilah. Pergi. Aku tak pantas. Menjauhlah dari durjana sepertiku."

"Jangan merasa rendah diri pada orang buangan sepertiku, wahai pengembara. Lagipula, siapkah sesungguhnya yang berhak menghakimi selain sang Pencipta?"

Sendu senja terukir di ufuk barat. Helai ikal legam yang semula bersibak kini menjuntai rapi menutupi punggung yang terbebani. Langkahnya pelan dan berat karena terikat oleh rantai tak kasat mata. Namun, si prajurit justru mencium aroma keberanian yang berkobar teguh hingga ke pelosok negeri.

"Jadi, bersediakah anda menceritakan getir yang selama ini menyelubungi hati?"

Benteng itu akhirnya runtuh hanya dengan satu ketukan halus di pintu. Bendera putih dikibarkan selagi kedamaian menyerbu masuk.

Dua orang tersingkirkan berbagi penderitaan dan kasih hingga terbuai dalam jalinan cinta. Hasrat yang menggelora membuahkan matahari dan bulan yang lahir pada saat bintang-bintang berjatuhan.

Naas, bumi merasa iri dan mengutuk kebahagiaan mereka. Kedua cahaya tata surya mereka direnggut paksa, lenyap dalam jentikan jari. Si prajurit yang murka kembali mengangkat senjata dan bersumpah akan membalas dendam hingga pada semua keturunan yang telah bersekongkol menghancurkan galaksi yang susah payah dibangunnya.

Ia lalu pergi mengelilingi negeri sembari diliputi kebencian. Bersimbahkan darah dimanapun ia singgah. Menghembuskan teror kemanapun ia melangkah hingga tak ada satu makhluk pun yang berani menyebut namanya.

Ironisnya, amarah yang menguasai membuat si prajurit melupakan separuh jiwanya yang diselimuti lara, yang digerogoti duka hingga bara keberaniannya padam. Kehilangan membuatnya hampa dan kekosongan perlahan mengikis kewarasan. Dalam raung penuh penyesalan si prajurit, kematian berhasil merengkuh keduanya dalam dekapan.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang