Meski Mantrisanu merutuk karena keterlambatan Jes mengakibatkan ruang tunggu UGD disesaki petugas Dinas Keselamatan Ewa-Lani, toh pria itu akhirnya tetap mengikuti langkah sang Detektif. Dengan Jam sebagai pengalih, keduanya menyelinap di antara kerumunan tanpa menyadari bahwa sepasang mata mengawasi tajam.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Jes setelah memastikan tak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan mereka.
"Tanda-tanda penyerangan dan kekerasan seksual padanya terlihat jelas. Kuharap mereka dapat memetakannya dengan akurat dalam rekam medis darurat. Tapi, melihat tempat ini aku meragukannya."
Walau bisa dibilang Moa'nalua adalah Rumah Sakit terbesar di Ewa-Lani namun di mata sang patologi forensik, fasilitas kesehatan yang didatanginya ini ibarat klinik pedesaan. Dengan luas bangunan yang bahkan tidak mencapai 5000 meter persegi, peralatan terbatas juga para Dokter yang bisa dihitung jari, bukankah pasien gawat darurat yang datang kemari bisa dikatakan hanya singgah untuk menunggu ajal menjemput?
"Serius, apakah tidak ada salah satu dari mereka yang setidaknya berpikir waras untuk memindahkan anak itu agar mendapat penanganan yang lebih intensif? Jika tidak dapat melewati malam ini, dia jelas tak akan mampu bertahan."
"Kau mulai kedengaran seperti Rachata."
Mantrisanu tertegun meski detik berikutnya rautnya berubah mencemooh. "Aku benar-benar tak sudi dbandingkan dengan rekanmu yang bodoh itu, Tilapornputt!"
"Berhenti berusaha memperlihatkan sisi kemanusianmu kalau begitu!"
"Ckckck... Kupikir kau tidak akan menyadarinya."
"Bahkan Iblis pun tidak akan mempercayaimu."
Tawa pria berdarah campuran itu meledak tak terkendali.
"Kau sudah memperoleh identitasnya?"
"Zorya. Sebelas tahun. Yang kudengar ia hilang pada hari yang sama saat terjadi keributan di sebuah Hale kuili."
"Hale kuili?"
"Kau tau sesuatu?"
"Itu adalah kediaman milik orang tua Charise."
Alis Mantrisanu bertaut. "Lalu, keributan apa yang mereka maksud?"
"Mereka ditemukan bunuh diri tak berselang lama setelah aku dan Detektif Jam datang berkunjung."
"Bunuh diri? Kau yakin?"
"Jejas jerat di leher melingkar secara penuh dengan arah ke atas, pada bagian belakang membentuk huruf V terbalik dengan simpul hidup. Garis batasnya tegas dan dasarnya kulit merah kecoklatan, perabaan keras seperti perkamen."
"Gambaran luarnya sesuai. Lalu?"
"Apa?"
Mantrisanu terkekeh. "Oh, ayolah, Jespipat. Melihatmu yang sampai mengingat rekam autopsinya, itu berarti kau meragukan kasus ini."
Sialnya, tebakan pria ini tepat sasaran. Walaupun di depan Jam, ia bersikeras tak ingin terlibat namun berbagai kejanggalan yang terlihat di TKP cukup untuk membuat Jes bertindak. Apalagi, ia meyakini bahwa semua hal yang sedang terjadi di sekitarnya saat ini memiliki benang merah satu sama lain. Tentu saja dengan dia dan si Aktor sebagai pusatnya.
"Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan dariku, Detektif?"
"Tidak sekarang. Vacutainer di dalam sakumu lebih mendesak untuk diselidiki."
"Apakah ada laboratorium yang bisa kugunakan?"
"Kupikir lebih baik jika kau mengirimkannya pada orang kepercayaanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Star in the Water | JESBIBLE
FanfictionKetika pemuda yang selalu dikuntit maut itu akhirnya bertemu dengan seseorang yang dinaungi oleh cahaya, bagaimanakah jalinan takdir yang akan tercipta ditengah kematian yang mengelilingi? ---------------------------------------------------------- L...