1. Sang Pemburu

2.5K 120 10
                                    

Sepasang mata cokelat menatap lekat seorang wanita di hadapannya yang tengah menanggalkan pakaian. Begitu pelan, begitu menggoda, begitu sensual.

Bibirnya terpoles lipstik merah menyala dipadu senyum tipis nan menawan. Tulang selangka penopang lengan yang begitu indah hingga pinggang ramping dan garis pinggul yang menjadi satu kesatuan sempurna membuat pria itu harus mengakui bahwa tak ada secuilpun kecacatan yang bisa ditemukan pada si pemilik rambut red wine bergelombang yang langkahnya kian mendekat ini. Dan saat lapisan kain terakhir di tubuh sang wanita telah terlepas, ia bisa merasakan sepasang payudara yang menekan dada bidangnya dengan kuat.

"Aku tahu kau sangat menginginkannya," desah si wanita. Telunjuknya bermain di sekitar rahang tegas sebelum berpindah untuk mempereteli kancing kemeja yang dikenakan partner nya malam ini.

Ia meninggalkan kecupan, memberi tanda kepemilikan sekaligus simbol untuk memulai permainan yang akan memicu adrenalin. Dan saat sang pria menurunkan pandangan, tatapan mereka bertubrukan.

Aneh, rasanya benar-benar janggal. Ketika wajah bergairah yang biasa ia dapati dari berbagai macam klien yang ingin dipuaskan di balik tembok kokoh tak bertelinga kini berganti menjadi perpaduan kernyit dan kedut yang seolah menelanjanginya hingga ke tulang. Bahkan iris cokelat yang sebelumnya terlihat seperti biji almond yang menggiurkan kini bagaikan kedalaman gua tak berujung.

Wanita itu refleks mundur sembari memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menutupi bagian yang seharusnya tak dipertontonkan sembarangan persis Hawa yang baru saja memakan buah dari pohon pengetahuan.

"Siapa anda?"

"Detektif," jawabnya singkat.

Udara dingin yang mendadak menerpa kulit membuat deretan gigi sang wanita bergemeletuk namun ketika ia menyadari bahwa tak ada celah terbuka yang memungkinkan hembusan angin untuk masuk, gantian sekujur tubuhnya yang bergidik.

"Siapa anda sebenarnya?" Ada nada getir dan juga cicit ketakutan yang tak dapat disembunyikan.

Pria itu terdiam cukup lama sebelum menjawab.

"Seseorang yang pernah menantang maut dan menang."

***

Jes menatap bayangan tubuh tingginya yang terpantul dari pintu lift yang masih tertutup. Rambut auburn nya acak-acakkan, tiga kancing teratas yang masih terbuka mempertontonkan jejak lipstik merah yang mulai samar di sekitar dada. Dan saat penciumannya lagi-lagi terganggu oleh aroma chanel, pandangannya berubah mengeruh.

Sialan! Berani-beraninya para tikus got itu berusaha menjebakku!

Ia merogoh saku celana, mencari keberadaan ponsel lipatnya lalu menekan rentetan angka yang sudah dihapal di luar kepala. Terdengar nada sambung beberapa detik sebelum seseorang di seberang menjawab.

"Hal..."

"Keluarkan surat penggeledahan segera," titah Jes selagi menjejalkan suit yang sedari tadi tersampir di pundak ke dalam tempat sampah di dekatnya.

"Tapi, Detektif..."

"Sekarang!"

"Tap..."

"Apa kau ingin aku juga memerintahkan surat penggeledahan untukmu, Jam Rachata?"

Sang lawan bicara menelan ludah gugup. "Ti... Tidak Detektif. A... Akan saya laksanakan segera. Tapi..."

TUT. TUT. TUT.

Tanpa rasa bersalah Jes segera memutus sambungan meski Jam masih berbicara. Sifat angkuh yang begitu dibenci oleh semua orang yang pernah dan sedang bekerja sama dengannya namun bila dibandingkan dengan persentase tingkat keberhasilan Jes dalam memecahkan kasus yang hampir mendekati 99% membuat mereka hanya sanggup menelan makian yang sudah berada di ujung lidah.

TING.

Pria dengan tinggi 182 sentimeter itu mendongak ketika mendengar lift terbuka. Tatapannya tanpa sengaja bersirobok dengan seorang pria berjambang yang mengenakan setelah serba hitam dari ujung kepala hingga kaki. Alarm kecurigaannya langsung meraung-raung mengingat biasanya hanya para anggota mafialah yang berpakaian persis seperti pria bertampang sangar di depannya ini.

Jes melangkah masuk lalu berdiri dengan jarak yang dirasanya aman sebelum menekan tombol lobi. Dalam hati ia terus menyumpah serapah karena tindakannya yang gegabah. Kalau saja ia menyelidiki lebih dulu perihal surat kaleng tak bertuan yang tergeletak di mejanya dan bukannya langsung tergesa-gesa menyambangi hotel Bhramar, Jes tak perlu repot-repot berurusan –dan bersentuhan- dengan wanita bernama Arwen tadi.

Beruntung, bertahun-tahun berkecimpung dalam bidang pengintaian membuat mata setajam elangnya tak kesulitan untuk menemukan kamera tersembunyi di balik cermin dan juga di dalam wadah lampu kamar.

Mereka semua benar-benar meremehkanku. Lihat saja apa yang bisa kuperbuat untuk membalas kalian para bajingan tak bermoral! Akan kuseret kalian ke neraka terdalam hingga terpaksa menjilati bangkai untuk bertahan hidup.

Emosi yang terlanjur menggebu-gebu membuat Jes tenggelam dalam pemikiran yang berkecamuk. Ia bahkan lalai hingga tanpa sengaja bersentuhan bahu dengan tamu hotel yang berjalan terburu-buru.

Benar-benar, apa kesialan sedang menaunginya hari ini?

"Ma... Maaf, maaf, Tuan," kata si penabrak terbata-bata karena terkejut dengan tatapan tak bersahabat dari pria jangkung berambut auburn di depannya ini. "Apa anda baik-baik saja?"

Jes tak menjawab, ia malah terus memandangi si wanita –yang Jes tebak berasal dari rumpun Alpine- seperti mesin yang tengah memindai suatu objek dengan teliti. 

Memperhitungkan akses jalan yang sulit, daerah yang tidak terpeta di satelit dan tak ada kawasan wisata apapun yang bisa ditonjolkan, turis mana yang akan berkunjung selain mereka yang tanpa sengaja tersesat? Atau mungkin disesatkan?

Tentu saja kelakuan anehnya membuat si penabrak ketakutan setengah mati dan buru-buru mengambil langkah seribu. Bahkan ketika ia menoleh untuk memastikan kalau dia tidak akan dikuntit yang didapatinya justru Jes yang masih berdiri tegak di tempat dengan tatapan yang menghunus seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

Sekali lagi, wanita muda itu menekan tombol lift dengan tergesa-gesa selagi memaki dalam hati.

Sungguh kota aneh yang dipenuhi orang sinting!

Ahh... Seandainya saja ia bertanya alasan pemuda itu melakukannya, sekarang kepalanya mungkin tidak sedang teronggok di lantai yang dingin. Potongan jari dan juga kedua bola matanya masih berada di tempat semestinya alih-alih ditancapkan pada sepotong kentang busuk menyerupai Mrs. Potato Head. Darahnya tidak akan mengecat satu sisi dinding ruangan. Bagian kaki dan tangannya tidak akan ditempel menjadi pajangan. Tubuhnya tidak akan disayat dan dibiarkan terbuka persis seperti phantom anatomi. Dan yang terpenting, ia tidak akan sampai membuat kehebohan dan menodai Minggu pagi yang tenang di Braeden City.

***

Star in the Water | JESBIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang