44 : Naik Tahta

55 7 3
                                    

"Joohee!" Jungkook kini terduduk dengan napas tersenggal juga keringat yang membasahi wajahnya. Dirinya kemudian mengedarkan pandangan, saat tak mendapati siapa pun mendampinginya di sana. Padahal, dirinya cukup penasaran dengan apa yang selanjutnya terjadi setelah dirinya tak sadarkan diri. Hingga kemudian Jungrim datang dengan balutan pakaian berkabungnya, membuat Jungkook mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi.

Jungrim tak mengatakan apa-apa. Pria itu meraih tangan Jungkook kemudian mengembuskan napas lega saat merasakan nadi pria itu sudah kembali normal.

"Apa terjadi sesuatu? Berapa lama aku tidur?"

Alih-alih dapat jawaban yang diinginkan, Jungkook malah makin dibuat heran saat Jungrim justru memberikan hormat yang seharusnya diberikan pada raja.

"Apa yang kau lakukan?"

Jungrim masih dengan posisinya, bersujud sambil kemudian terisak. Siapa yang senang pada kehilangan? Apalagi, dia kehilangan lebih dari satu orang yang dia sayangi. Bahkan, dia baru tahu Kyung adalah kakaknya di detik terakhir kehidupan pria itu.

"Apa ...." Jungkook menoleh, mendapati gulungan dekret yang tergeletak di atas nakas kemudian meraihnya. Matanya lantas membulat saat menyadari apa yang kemudian membuat Jungrim berakhir bersujud padanya. "Ini ... Ini tidak mungkin 'kan? K-kau ... Apa kau bisa menceritakannya padaku?"

Hari itu memang mereka berhasil membuat para musuh dalam selimut itu berakhir dipenjara. Namun, ada harga yang mereka bayar untuk itu. Beberapa gugur termasuk raja Sa yang kemudian membuat Jungkook harus naik tahta. Awalnya, Jungrimlah yang diminta untuk naik tahta karena kondisi Jungkook yang tidak tahu kapan akan sadar. Namun, pria itu menolak dan percaya Jungkook akan segera sadar.

Kaki Jungkook terasa cukup lemas mendengarnya. Andai dirinya bisa lebih kuat lagi, mungkin takkan ada korban jiwa dari orang-orang yang tak bersalah. Namun, menurutnya menyesal juga tak ada gunanya. Dia tak bisa menghidupkan mereka kembali.

"Lalu Joohee? Dia baik-baik saja 'kan?"












Joohee menatap hamparan air danau sambil sesekali melemparkan batu ke sana. Hatinya masih terasa kacau apalagi setelah kematian raja Sa. Andai dirinya tak terlambat menyadari pergerakan kasim Oh, mungkin dirinya masih bisa menyelamatkan raja Sa. Memang, secara tak langsung raja Sa adalah penyebab kematian seluruh keluarganya. Jika saja dulu raja Sa tak menyetujuinya, tak mungkin tiba-tiba pasukan berzirah itu menyerang keluarganya. Namun, anehnya ucapan maaf yang disampaikan raja Sa sebelum mengembuskan napas terakhir, benar-benar terus terngiang di kepalanya.

"Joohee, kau masih belum pulih. Kenapa kau begitu keras kepala dan bertindak semaumu?" Hoon mengoceh sebelum kemudian duduk di samping gadis itu. Masalahnya, Joohee juga baru saja membuka mata kembali. Beruntung kali ini penglihatannya sudah kembali seperti sebelumnya.

"Aku hanya ingin menenangkan diri." Memghadapi pembantaian 2 kali, tentu saja membuat Joohee sedikit teringat pada kejadian yang menimpa keluarganya. Mayat bergeletakan juga darah yang menggenang di mana-mana. Benar-benar pengalaman yang cukup mengerikan baginya. Mungkin tak hanya untuk dirinya, tapi juga orang-orang. "Ah ya, apa pedangnya sudah disimpan ke gudang senjata lagi? Aku merasa tidak pantas untuk menggunakannya."

"Kau sangat keren saat menggunakannya. Kepala kasim tidak mengizinkanku untuk mengembalikannya ke sana. Jadi, kusimpan di kamarmu."

"Aku hanya akan teringat pada ayahku jika pedang itu bersamaku."

"Ayo, lebih baik kau kembali ke kamar. Setelah membantu yang lain membersihkan racun lalu membantu Yang Mulia agar cepat bangun, kau seharusnya istirahat dengan baik." Hoon membantu Joohee untuk beranjak. "Jangan lupa. Kau juga bertanggung jawab atas nyawa lain. Jangan egois."

Shadow Of Bitae✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang