40 : Ini Bukan Jebakan 'kan?

41 8 6
                                    

Jungkook terus menatap Joohee yang sudah hampir 3 hari memejamkan matanya. Sejak hari itu, baik Joohee maupun Yuan tak kunjung membuka mata, membuat Jungkook terus menyalahkan dirinya karena sama sekali tak bisa mencegah Joohee untuk membantu. Andai dia bisa lebih melarang Joohee, mungkin semuanya takkan berakhir seperti ini. Jika seperti ini, rasanya sangat sia-sia karena Yuan sama sekali tak merespon.

"Situasi di istana sedang kurang baik," ujar Jungrim yang kemudian membuat Jungkook menoleh dan beranjak dari duduknya. Dia kemudian mengambil alih surat yang dikirimkan oleh seseorang dari istana. "Hyun yang mengirimkannya. Kurasa saat ini dia juga dalam bahaya."

Jungkook membulatkan mata saat mendapati nama-nama yang ada di sana. Termasuk Hwarim juga selir Jang. "Ini ...."

"Mereka mengincar Joohee untuk bisa membunuhmu. Juga ... saat ini ayah tiba-tiba jatuh sakit."

Jungkook meremas kertas itu kemudian menatap Joohee. Memang berasamanya adalah hal paling berbahaya bagi Joohee. Ditambah dengan efek giok kehidupan yang membuat jiwa mereka terhubung. Dapat dipastikan lawannya yang tahu soal identitas asli Joohee, akan lebih dulu mengincar Joohee dibanding dirinya.

"Kurasa ... lebih baik kita kembali ke istana lebih cepat."

Jungkook terdiam. Dia takut meninggalkan Joohee begitu saja akan lebih mudah membuat musuhnya mengincar gadis yang dia cintai. Namun, tetap di sana malah akan membuat situasi Bitae lebih kacau. Apalagi saat ini sang ayah sedang sakit. Sebagai putra mahkota, tentu dirinya harus berdiri pada baris paling depan untuk membuat Bitae tetap stabil. Dia benar-benar berada dalam dilema.

"Kami akan menjaganya untukmu. Kau satu-satunya harapan Bitae," ujar Hoon yang kini berdiri di ambang pintu. "Saat ini anggota Bunga Teratai sudah cukup banyak. Melindungi Joohee dan Yuan bukanlah hal yang begitu besar."

"Tapi ...."

"Jika terjadi sesuatu di istana, segera kirimkan pesan. Kami pasti akan membantumu."

Jungkook menatap Jungrim, membuat pria itu segera mengangguk untuk meyakinkan Jungkook.

"Baiklah, kita pergi sekarang juga." Jungkook memang merasa berat hati untuk pergi dari sana tanpa jawaban yang begitu jelas. Namun, dia tak bisa bertindak sesuka hati sebagai seorang putra mahkota. Apalagi, nyawa Hyun juga sang ayah kini benar-benar dalam bahaya. Dia tentu takkan menambah daftar panjang rasa bersalah dalam hatinya karena kematian orang di sekitarnya yang terjadi secara bergantian.

"Aku percaya kalian bisa menjaga Joohee dan Yuan. Tapi ... Ko Jina, kau harus ikut kami."

"Kau gila?!"

Jungkook menyeringai. "Karena kau yang membuat Joohee berakhir terlibat seperti ini, jadi kau harus bertanggung jawab. Bantu aku untuk melindungi Joohee, maka aku akan melindungi Yuan."

Sebagai putri dari salah satu musuhnya, tentu membuat Jungkook akan aman setidaknya selama perjalanan menuju istana. Menteri Ko tak mungkin menyakiti putri semata wayangnya begitu saja. Jadi, menjadikan Jina sebagai tamengnya bukanlah keputusan yang buruk. Lagipula, dia juga takkan membiarkan gadis itu terluka karena bagi Joohee, Jina adalah sahabat terbaiknya.

***

Perjalanan yang ditempuh selama beberapa hari itu kini berakhir. Namun, bukannya beristirahat setibanya di istana, Jungkook lebih dulu menemui sang ayah, memastikan kondisinya baik-baik saja. Dia lupa istana adalah tempat paling berbahaya. Selalu ada musuh dalam selimut. Bahkan dia sama sekali tak menyangka selir Jang yang selama ini tak pernah terlibat dalam urusan politik karena memang selalu terlihat kurang sehat, ternyata bersekongkol dengan Hwarim. Namun, alih-alih langsung menginterogasi, Jungkook memilih untuk pura-pura bodoh dan tak menyadari hal tersebut. Padahal sejak awal lamaran itu sampai padanya, dia memang sudah berniat menjebak Hwarim karena tak begitu mempercayainya.

Jungkook mengerutkan dahi saat mendapati sang ayah terlihat sehat di depan meja caturnya. Padahal dia sampai memacu kudanya secepat mungkin agar bisa tiba lebih cepat dari seharusnya. Namun, yang dia dapati malah sang ayah yang terlihat sehat.

"Kau berharap ayah benar-benar sakit?" tanya Heongjun saat melihat raut bingung sang putra.

Jungkook segera duduk di kursi yang berhadapan dengan sang ayah, mengerutkan dahi dengan formasi catur yang dibentuk sang ayah.

"Kau tidak bisa memecahkannya?"

"Apa kali ini ... ayahanda sedang memberitahuku sesuatu?"

Heongjun hanya tersenyum kemudian meletakkan bidak berikutnya. Jungkook memang sesuai dengan apa yang dia harapkan. Namun, putranya yang satu ini memang selalu bertindak gegabah termasuk dengan pergi dari istana tanpa membawa pengawal pribadi. Juga, dia tak menyangka gadis yang selama ini ada di samping Jungkook adalah Ae Joohee. Seseorang yang selama ini dia cari karena pada saat akan menguburkan keluarga Ae, dia tak menemukan jasad putri bungsu mereka. Andai dirinya tak diam-diam menyelidiki, mungkin selamanya Jungkook akan menyembunyikan fakta itu.

"Berikan pada gadis itu."

Jungkook mengerutkan dahi saat mendapati 3 gulungan kertas yang diberikan sang ayah padanya.

"Dia pemilik giok kehidupan 'kan? Ayah rasa ini akan sangat membantunya."

"Jadi ...."

Heongjun beranjak dari duduknya, beranjak kemudian berdiri di dekat jendela. "Akujuga baru tahu soal ini. Andai saat itu aku tidak dengan mudah terpengaruh hasutan dari orang lain, mungkin sampai saat ini aku masih punya sahabat yang benar-benar tulus di sampingku."

"Ayahanda tidak menghukum pelakunya?"

Heongjun tersenyum lalu berbalik. "Aku bukannya tidak bisa. Tapi memilih untuk tidak melakukannya. Ada banyak orang yang harus aku lindungi. Tapi ... jika kau ingin melakukannya, aku tidak akan melarang. Aku yakin kau juga sudah menebak siapa pelaku dibalik kematian mengenaskan keluarga Ae."

"Ini bukan sebuah jebakan 'kan?" gumam Jungkook dalam hatinya. Sungguh, hatinya makin tak tenang apalagi setelah Hyun mengirimkan pesan itu. Dia takut semua ini hanya sebuah jebakan agar dirinya dan Joohee terpisah.









Jiwoo menghela napas sebelum kemudian menghampiri gadis yang kini duduk di salah satu meja kedai itu dengan kain yang menutup matanya. Memang sadarnya Joohee setelah memejamkan mata beberapa hari, adalah hal yang cukup membahagiakan. Namun, Joohee harus terbangun dengan kondisi yang menyedihkan. Sama seperti yang diduga oleh Jungkook, Joohee kehilangan penglihatannya. Entah hanya sementara atau selamanya. Tabib yang membantu mereka juga tak mengatakannya lebih lanjut.

"Eonni, kau akan terus berdiri di sana? Aku tidak semenyedihkan itu," ujar Joohee. Matanya memang ditutup. Namun, dia bisa melihat dengan jelas di mana Jiwoo berada saat ini. "Ah ya, aku tidak melihat Yang Mulia. Di mana dia?"

"Dia?" Jiwoo segera duduk kemudian meletakkan nampan yang berisi teh juga camilan yang dia bawa. "Dia ... sedang mencari tahu soal apa yang dia lihat dari perjalanan waktu yang kalian lakukan."

"Ah ... soal putra mahkota yang sebelumnya?"

"Benar. Sekarang lebih baik kau makan dulu."

"Tapi ... saksinya sama sekali belum bangun. Apa dia benar-benar tahu petunjuknya?" Joohee beranjak. "Aku harus mencoba mencari tahu lagi."

Dengan panik Jiwoo segera meraih tangan gadis itu dan meraih pergelangan tangannya. "Dia berpesan pada kami untuk tidak membiarkanmu melakukannya lagi sebelum dia kembali." Dalam hati, Jiwoo benar-benar mengucap beribu maaf karena malah membohongi Joohee. Padahal, Jungkook kemungkinan takkan kembali ke sana dalam waktu dekat jika melihat situasinya.

"Ah ya, apa ada tanda-tanda saksi itu akan bangun?"

"Kurasa racunnya masih tersisa."

"Setelah aku pulih kembali, aku akan mencobanya kembali." Joohee tersenyum. Kini mereka sudah sangat dekat dengan kebenarannya. DIa benar-benar tak mau menunda lebih lama agar bisa membantu Jungkook secepat mungkin.

*****

Maaf bngt baru sempet up karena aku baru beres ngurusin acara agustusan xixi

19 Aug 2024

Shadow Of Bitae✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang