Chapter 9

19.9K 733 7
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote bintang di pojok bawah ya.
Terimakasih🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Pagi itu hujan turun rintik-rintik, menciptakan simfoni lembut di atas balkon tempat Galen berdiri. Udara dingin menyelimuti tubuhnya yang hanya terbalut kaos singlet hitam dan celana training berwarna senada, sisa dari sesi gym pagi tadi.

Asap putih mengepul dari sudut bibirnya setiap kali ia menghisap rokok yang terselip di antara jemarinya, seakan menghangatkan kesunyian yang mengelilinginya.

Tatapannya perlahan beralih ke dalam, melalui pintu kaca yang memisahkan balkon dan kamar tidur. Di sana, Ainsley masih terlelap di atas ranjang besar, wajahnya terlihat damai dalam tidur, kontras dengan ketegangan yang biasanya tampak saat dia terjaga.

Ainsley selalu suka tidur, itu salah satu hal yang tidak pernah berubah dari wanita itu. Dari dulu hingga sekarang, ia tetap Ainsley yang sama, yang bermimpi besar tentang masa depan, terutama tentang menjadi seorang ibu.

Galen teringat kembali saat mereka masih muda, saat Ainsley yang penuh antusiasme menceritakan impian tentang kehidupan yang sempurna. Betapa bersemangatnya dia setiap kali melihat gaun pengantin, ibu hamil, atau pasangan yang mendorong kereta bayi. Ainsley punya cita-cita besar tentang keluarga, tentang anak-anak, tentang kehidupan yang bahagia.

Dia sering mengatakan bahwa menjadi ibu adalah panggilan hidupnya, sesuatu yang ia tunggu dengan sepenuh hati.

Sebuah senyum kecil muncul di bibir Galen saat ingatan-ingatan itu mengalir, diikuti oleh kekehan kecil yang tak tertahan. Dia bisa dengan mudah mengingat betapa cerewetnya Ainsley saat berbicara soal masa depan mereka, masa depan yang tampaknya begitu jauh dari kenyataan mereka saat ini.

Tapi senyum itu perlahan memudar, digantikan oleh bayangan hari pernikahan mereka. Galen masih bisa merasakan ketegangan di udara saat Ainsley mengucapkan sumpahnya, bagaimana bibirnya gemetar saat setiap kata keluar.

Matanya terpejam penuh kesakitan ketika mereka akhirnya diumumkan sebagai suami istri yang sah. Rasa bahagia yang dulu mereka impikan bersama tampak jauh, seakan terkubur oleh sesuatu yang tak terucapkan.

"Kenapa dia tak bahagia?" gumam Galen pada dirinya sendiri. "Bukankah ini yang selalu dia inginkan?"

Simpati mulai merayap ke dalam hatinya, membuatnya bertanya-tanya apakah dia terlalu keras, terlalu dingin. Tapi kemudian, secepat simpati itu datang, kenangan lain menghantamnya, kenangan tentang Ainsley yang meninggalkannya di saat tersulit.

Saat ayahnya kehilangan segalanya, perusahaan yang menjadi pilar hidup mereka hancur, dan Ainsley, yang dulu selalu berjanji akan berada di sisinya, justru pergi. Dia mengatakan bahwa mereka tak lagi setara, bahwa Galen bukanlah pria yang bisa memberinya kehidupan yang layak.

Rasa sakit itu masih begitu nyata di hati Galen, meskipun tahun-tahun telah berlalu. Dia mengorbankan segalanya untuk Ainsley, hanya untuk ditinggalkan ketika dia hanya memiliki cinta untuk ditawarkan.

"Apakah ini bukan keadilan?" pikirnya, bibirnya mengepulkan asap terakhir dari rokoknya. "Bukankah sekarang dia juga harus merasakan rasa sakit yang pernah aku rasakan?"

Dengan pemikiran itu, Galen mengalihkan pandangannya kembali ke hujan yang turun. Hatinya yang sempat lunak kembali mengeras, seakan menutup pintu bagi perasaan yang mulai merayap.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Siang itu, Galen memilih sebuah restoran yang cukup jauh dari kantornya, tempat yang biasanya tak ia kunjungi. Ia sendiri pun tak tahu pasti kenapa memilih tempat itu. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal yang terasa membebani hatinya, mengaburkan fokusnya pada pekerjaan.

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang