Chapter 28

15.7K 557 14
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Galen duduk termenung di kursi kantornya, matanya tak lepas dari gambar hasil USG yang ia pegang. Gambar itu memperlihatkan sesuatu yang kecil, seukuran kelereng. Sebuah janin yang suatu hari akan tumbuh menjadi anaknya. Di dalam gambar itu, ada kehidupan yang suatu saat nanti akan memanggilnya "Ayah."

Senyuman kecil terulas di wajah Galen, meski ia tak sadar. Bayangan tentang bayi mungil yang akan menggenggam jemarinya, tawa ceria yang menggema di dalam rumah mewahnya, begitu hangat memenuhi hatinya. Bahkan, ia terkekeh pelan membayangkan sekelompok anak-anak lucu yang berlarian di dalam rumahnya, membuat segalanya lebih hidup.

Namun, di balik senyum itu, kenangan masa lalu perlahan menyeruak. Di bawah langit musim dingin sembilan tahun yang lalu, ia dan Ainsley duduk di dalam mobil, menikmati es krim meskipun salju baru saja turun. Suara tawa Ainsley dan ekspresi cerianya masih begitu jelas di ingatannya.

"Aku ingin punya dua anak," ucap Ainsley dengan matanya yang berbinar kala itu. "Satu perempuan, satu laki-laki. Mereka pasti lucu sekali."

Kata-kata itu terngiang kembali, seolah waktu berhenti di momen tersebut. Kenangan itu terasa begitu dekat, seolah baru terjadi kemarin. Tanpa sadar, matanya mulai basah. Air mata menggantung di sudut matanya, mengalir pelan, mencerminkan perasaan yang sudah terlalu lama ia pendam.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuatnya tersentak dari lamunannya. Ia menarik napas panjang, buru-buru menyeka air matanya dengan ujung jarinya sebelum mengendalikan dirinya.

"Masuk," suaranya terdengar sedikit serak.

Kimberly masuk dengan langkah percaya diri. Di tangannya ada beberapa berkas dan ia langsung berdiri di hadapan Galen.

"Ini, Pak," ucapnya sambil menyerahkan dokumen.

Galen mengambilnya tanpa banyak bicara. Ia membolak-balik halaman-halaman itu, tapi pikirannya masih terpecah antara masa lalu dan bayangan tentang anak yang akan lahir. Kimberly, yang masih berdiri di sana, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya memanggilnya lagi.

"Pak..." panggil Kimberly pelan, mencoba menarik perhatian.

Galen mendongak dengan alis terangkat. "Apa lagi?"

"Anda terlihat lelah hari ini," Kimberly berbicara dengan senyum yang ia kira menggoda. "Kebetulan malam ini saya tidak sibuk, jadi kalau Anda.."

"Keluarlah. Aku tidak ada waktu," potong Galen, suaranya dingin dan tanpa emosi.

Kalimat singkat itu langsung membuat wajah Kimberly memerah karena malu. Dengan tatapan kesal yang tak bisa ia sembunyikan, ia segera melangkah keluar dari ruangan bosnya. Pintu ditutup dengan sedikit hentakan, membuat suasana di luar ruangan terasa tegang.

Di luar, Kimberly mendengus. "Dasar. Dia hanya menggunakan aku, lalu membuang begitu saja?" gumamnya kesal.

Ketika ia melangkah, tatapan beberapa karyawan yang berada di lorong langsung tertuju padanya. Mereka berbisik-bisik, jelas-jelas membicarakannya.

"Dasar perempuan ulat," bisik salah satu karyawan sambil melirik ke arahnya dengan pandangan jijik.

"Pak Galen pasti sangat khilaf ketika tergoda oleh dia," balas yang lain, ikut tertawa kecil

Kimberly menahan diri, meski amarah di dalam dirinya berkobar. Begitulah dirinya di mata mereka, sekadar penggoda murahan yang terobsesi pada harta dan kekuasaan.

Kini, setelah tak lagi dipedulikan oleh Galen, posisinya di perusahaan ini semakin tak ada artinya dan sekarang dia terjebak di tengah gunjingan kantor, tanpa tempat untuk lari.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Hari ini, entah kenapa Ainsley merasa terdorong untuk membereskan rumah. Padahal, ia biasanya menghindari kegiatan bersih-bersih karena menurutnya melelahkan dan monoton. Namun, kali ini ada sesuatu yang membuatnya ingin melakukannya. Meskipun para pelayan hanya memperbolehkannya membersihkan kamar, Ainsley tak mempermasalahkannya.

Saat sedang memeriksa lemari di kamarnya, perhatian Ainsley tertuju pada tumpukan paperbag yang tersembunyi di sudut ruangan.

"Apa ini?" gumamnya pelan, mengernyit melihat tumpukan tersebut.

Seorang pelayan yang mendengar langsung menghampiri. "Itu dari Tuan, Nyonya. Kemarin beliau yang membawanya. Saya hanya diperintahkan untuk meletakkannya di mana saja, jadi saya simpan di sini."

Ainsley terdiam sejenak, lalu perlahan membuka salah satu paperbag. Tangannya menyusup masuk, menarik keluar beberapa pakaian bayi mungil dan sepasang sepatu kecil yang terlihat begitu lucu dan imut.

"Dia yang membeli ini?" Ainsley bertanya, suaranya terdengar hampir tak percaya.

Pelayan itu mengangguk lembut. "Iya, Nyonya. Bodyguard-nya mengatakan Tuan yang memilih semua barang itu sendiri."

Saat mendengar jawaban itu, Ainsley merasa dadanya sesak. Matanya mulai memanas, air mata seakan mengancam untuk tumpah. Ia memejamkan mata, berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosi yang tiba-tiba membuncah.

Tangannya yang kini memegang erat baju bayi kecil berwarna kuning itu mulai bergetar, seolah menggenggam semua perasaan campur aduk yang membanjiri hatinya. Antara rasa marah, sedih, dan harapan yang entah kenapa sulit ia tepis.

Mengapa Galen melakukan ini? Setelah segala kebencian dan kata-kata yang menghancurkan, kini dia muncul dengan perlengkapan bayi ini, seakan menyentuh sisi lembut yang sudah lama Ainsley coba kubur. Rasanya terlalu sulit untuk dipahami, bahkan lebih sulit lagi untuk diterima.

Ainsley berhenti dari semua aktivitasnya, memilih duduk di tepi kolam ikan di halaman belakang rumah. Tangannya memegang erat sebuah pakaian bayi mungil berwarna abu-abu, matanya basah menatapnya. Sesekali ia terisak pelan, tak mampu menahan perasaan yang bergulung dalam dadanya.

Galennya, suaminya, dan ayah dari calon anak mereka. Pria itu, yang selama ini ia anggap tak peduli, ternyata telah menyiapkan segalanya. Bukan hanya satu atau dua potong pakaian bayi, tetapi gendongan, selimut, dan perlengkapan lainnya. Seolah Galen tak ingin ada satu hal pun yang terlewat untuk menyambut kehadiran buah hati mereka.

Tangis Ainsley semakin pecah. Ia menyeka ingus dengan kasar, merasakan kepalanya mulai pening karena terlalu banyak menangis. Pakaian bayi kecil di tangannya kini terasa begitu berat, bukan karena kainnya, tetapi karena perasaan yang melekat padanya.

Bagaimana mungkin Galen, pria yang ia pikir sudah membencinya, sanggup melakukan hal seperti ini?

Namun di balik semua itu, ada satu kenyataan yang terus menghantui pikirannya. Ainsley sudah memutuskan, dan Galen pun menyetujui. Mereka akan bercerai setelah anak ini lahir.

Air mata Ainsley mengalir lebih deras. "Bagaimana mungkin bisa sesulit ini?" bisiknya lirih.

Di satu sisi, ia merasa tersentuh oleh apa yang Galen lakukan. Namun di sisi lain, ia tahu cinta di antara mereka sudah terkikis oleh kebencian, ego, dan rasa sakit yang tak pernah benar-benar hilang.

Mungkin inilah akhir dari kisah mereka, akhir yang tak pernah ia bayangkan.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[24 September 2024]
-
-

Gimana perasaan kalian setelah baca part ini?

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang