Chapter 19

16.6K 613 4
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Ainsley tidak pernah merasakan amarah seperti ini sebelumnya. Bukan karena Galen membawa wanita lain ke rumah, itu seharusnya tidak memengaruhinya, mengingat keadaan pernikahan mereka. Namun entah kenapa, ada rasa panas di dadanya, seolah-olah hatinya terbakar oleh api yang tak bisa dipadamkan.

Dia seharusnya lega, bukan? Jika Galen tak lagi tertarik padanya, itu mungkin bisa menjadi alasan untuknya bebas dari pernikahan tanpa cinta ini.

Namun, di balik semua itu, Ainsley tahu dirinya masih mencintai pria itu. Meski begitu, dia tidak ingin terus menjadi tawanan dalam pernikahan yang hanya memberinya status sebagai istri di siang hari dan pelayan ranjang di malam hari.

Mereka berdua berada di kamar tidur megah yang luas, namun terasa dingin. Ainsley terbaring di atas kasur, membelakangi Galen yang duduk di tepi ranjang, sibuk mengetik di MacBook-nya.

Tanpa membalikkan tubuh, Ainsley menghela napas berat. "Kemana saja kau selama lima hari ini?"

Galen melirik sekilas ke arah istrinya, tapi tak melepaskan fokus dari layar. "Aku kerja."

"Kerja apa sampai tak pulang selama berhari-hari? Atau mungkin karena sekarang kau punya sekretaris baru, kau jadi lebih betah di kantor?" sindir Ainsley, nadanya tajam.

Dia tak bermaksud mengatakannya, tapi perasaan di dadanya tak bisa lagi dibendung.

Galen mendesah, lalu menutup MacBook-nya dengan suara pelan yang menggema di ruangan sunyi itu.

"Dan jika itu benar? Apa itu masalah bagimu?"

Kasur itu bergoyang ketika Ainsley dengan cepat berbalik menghadap Galen, matanya menyala penuh emosi. "Aku menunggumu pulang, tapi kau malah lebih sibuk dengan sekretaris barumu!"

Galen menaikkan satu alis, menatap Ainsley dengan tenang namun tajam. Kenangan-kenangan lama muncul sekejap di benaknya, bagaimana Ainsley dulu selalu cemburu saat wanita-wanita lain mencoba mendekatinya. Dia dulu sangat populer di kalangan wanita, dan Ainsley selalu tampak terganggu oleh itu.

"Tapi kau juga tidak jauh berbeda. Kau sibuk menghabiskan waktumu dengan 'teman lamamu'," balas Galen, menyinggung pertemuan Ainsley dengan Marvel.

Ainsley menelan ludah, terkejut tapi tidak mundur.

"Itu karena aku benar-benar kesepian! Ini semua serba baru bagiku, rumah baru, lingkungan baru. Aku hanya mengenalmu di sini, Galen. Tapi kau selalu pergi. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana… karena hanya kau yang aku miliki sekarang."

Galen terdiam, memandang Ainsley dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilatan emosi di matanya, tapi dia menahan diri. Bagian dari dirinya masih peduli, tapi kebencian yang terpendam terlalu dalam.

"Dan menerima ciumannya di tepi pantai?" suara Galen terdengar dingin, seolah tak berperasaan, namun ada sesuatu yang membara di baliknya.

Ainsley terkejut mendengar itu, bukan karena merasa bersalah, tetapi karena menyadari bahwa Galen melihatnya. Matanya membesar, kebingungan mulai merayapi wajahnya.

"Siapa yang berciuman?" serunya tiba-tiba, bangkit dari tidurnya dengan tubuh tegak. "Aku menolaknya, tahu!"

Galen hanya memandangnya, diam tanpa ekspresi. Tatapan itu tajam, seakan menembus jiwanya, penuh dengan keraguan. Ketidakpercayaan terpancar dari mata pria itu, meskipun bibirnya tetap tertutup rapat.

"Bagaimana kau bisa tahu? Kau menguntitku, ya?" tanya Ainsley dengan nada yang campur aduk antara marah dan heran.

Senyum tipis muncul di sudut bibir Galen, nyaris berupa tawa yang tertahan. Ia memandang Ainsley, wajah yang dulu pernah begitu ia cintai dan entah bagaimana, masih membuat hatinya bergetar. Wanita itu terlihat begitu lucu dan selalu cantik seperti dulu.

Galen memiringkan kepalanya sedikit, mempelajari wajah Ainsley yang penuh dengan emosi. "Apa yang pria itu tawarkan padamu?" tanyanya tenang, meski di dalam hatinya, pertanyaan itu menyakitkan.

Ainsley menghembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Ceraikan suamimu, menikahlah denganku," katanya, meniru kalimat yang Marvel ucapkan dengan nada yang pahit.

Suasana menjadi hening. Keheningan itu memekakkan telinga, seolah-olah seluruh dunia menahan napas menunggu jawaban dari Galen. Pria itu melipat kedua tangannya, menatap lurus ke arah Ainsley dengan wajah yang sulit dibaca.

"Mau bercerai denganku?" ucap Galen akhirnya, suaranya rendah dan serak.

Ainsley terdiam. Pertanyaan itu seperti palu yang menghantam dadanya, membuatnya sadar bahwa semua yang mereka alami selama ini bisa berakhir di sini, dengan satu keputusan.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Percakapan yang terjadi semalam meninggalkan suasana dingin di antara mereka, seolah membuat mereka kembali menjadi dua orang asing yang tak pernah saling mengenal.

Pagi itu, saat Ainsley melangkah ke ruang makan, tatapannya sekilas jatuh pada Galen yang segera bangkit dari kursinya tanpa menyelesaikan makanannya. Tanpa sepatah kata, ia meninggalkannya begitu saja, seperti kehadirannya tak berarti.

Ainsley duduk, sendirian. Tawaran Galen semalam terus menggema di kepalanya, pertanyaan yang ia tak mampu jawab. Bagaimana mungkin ia bisa mengambil keputusan dalam kebisuan yang mendominasi?

Satu suapan pancake yang baru saja masuk ke mulutnya tiba-tiba menimbulkan rasa mual yang menyakitkan. Ia bergegas berdiri, berlari kecil menuju kamar mandi.

Di toilet, tubuhnya melemas saat muntah menguasainya. Salah satu pelayan dengan cepat menghampiri, memegang rambutnya agar tidak basah terkena percikan.

"Nyonya, apakah Anda baik-baik saja? Haruskah saya panggil dokter?" tanya pelayan lain, berdiri khawatir di belakang Ainsley.

Ainsley tidak menjawab langsung, napasnya terengah-engah. Setelah muntah reda, ia berdiri pelan dan berjalan ke wastafel. Tangannya gemetar saat membasuh mulutnya, matanya menatap lurus bayangannya di cermin. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia rasakan namun belum ingin diakui.

Dua hari belakangan, rasa mual itu terus menyerangnya, terutama di pagi hari. Awalnya ia berpikir itu hanya gejala flu atau mungkin kelelahan. Ia bahkan telah mencoba meminum obat, tapi tak ada yang berubah.

"Nyonya, Anda terlihat sangat pucat. Haruskah saya memanggil dokter?" pelayan itu kembali bertanya, kali ini lebih khawatir.

Ainsley menggelengkan kepala, meski hatinya bimbang.

"Tak perlu, tapi... bisakah kau membelikan aku sesuatu?" tanyanya dengan tenggorokan yang terasa perih.

Pelayan itu mengangguk cepat, siap menjalankan perintah. Setelah menerima instruksi Ainsley, ia segera berlalu, meninggalkan wanita itu yang masih memandangi dirinya di cermin.

Hatinya mulai dibanjiri ketakutan dan harapan yang bercampur aduk, seolah ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rasa mual yang ia alami.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[16 September 2024]
-
-

Mau tanya dong, gimana tanggapan kalian soal cerita ini? Dan dimana kalian nemu cerita ini sebelumnya?
Komen disini ya🖤

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang