Chapter 42

14K 506 24
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Ainsley merintih pelan, tubuhnya lemas sementara rasa kram di perutnya semakin tajam, mencengkeram tanpa ampun. Sejak pagi rasa itu sudah menghantui, dan meski awalnya ia mengabaikannya, kini kram itu semakin menguasai tubuhnya. Seperti ada beban berat yang menghimpit, menahan setiap gerakannya.

Dia melirik ke arah jam di dinding. Sudah pukul lima sore. Galen belum pulang, lagi-lagi terlambat. Dalam hatinya, Ainsley sudah mulai terbiasa dengan ketidakhadiran pria itu. Meski kecewa, dia mencoba mengerti. Galen selalu tenggelam dalam pekerjaannya yang menguras waktu dan tenaganya, pekerjaan yang sepadan dengan kemewahan yang mereka nikmati, namun kerap kali memisahkan mereka.

"Nyonya, kami akan pulang sekarang. Makan malam sudah siap, tinggal dipanaskan saja," ucap salah satu pelayan dengan suara lembut.

Ainsley tersenyum lemah, meski wajahnya tampak pucat. "Terima kasih, kalian boleh pulang."

Kedua pelayan itu ragu sejenak, saling bertukar pandang sebelum salah satu dari mereka kembali berbicara, "Apa Nyonya yakin? Kami bisa tinggal sampai Tuan pulang."

"Tidak perlu," jawab Ainsley, berusaha tegar meski tubuhnya terasa bergetar. "Kalian pasti lelah. Pulanglah."

Mereka tak bisa memaksa, meski tampak khawatir keduanya menunduk hormat. Setelah beberapa saat, mereka berdua perlahan meninggalkan ruangan besar itu, menutup pintu dengan hati-hati di belakang mereka.

Kini, hanya ada keheningan yang mendominasi. Ainsley menghela napas panjang, tangannya yang gemetar mengusap perutnya yang terasa semakin kaku. Peluh dingin mengalir di dahinya, dan matanya sedikit berkunang-kunang. Berusaha menenangkan diri, dia mencoba berdiri dari sofa, namun nyeri itu terus menghantam tanpa belas kasih.

Dengan susah payah, Ainsley melangkah perlahan menuju tangga. Setiap langkah terasa seperti mendaki gunung. Satu tangan erat memegang pinggang, sementara tangan lainnya mencari pegangan pada sisi tangga. Nafasnya semakin berat, kakinya terasa lemah. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk mencapai kamar, tapi tubuhnya berontak, hampir menyerah.

Di puncak tangga, rasa sakit tiba-tiba memuncak, membuatnya tersungkur ke lantai. Perutnya terasa seperti diremas, dan Ainsley terengah-engah, menahan erangan yang hampir tak tertahan lagi.

Di tengah keheningan yang menyelubungi mansion besar itu, hanya ada dia, terbaring kesakitan dengan tatapan kosong memandang langit-langit, berharap Galen segera pulang sebelum semuanya terlambat.

Ainsley menjerit tertahan, tubuhnya gemetar hebat akibat rasa sakit yang begitu menyiksa. Setiap detik terasa seperti siksaan yang mematikan, perutnya terasa seperti diperas tanpa ampun.

Dengan susah payah, ia mencoba bangkit, melangkah tertatih-tatih menuju kamar, namun tubuhnya seakan menolak bekerja sama. Sesampainya di sisi ranjang, tubuhnya terjatuh lagi, terhempas ke lantai tak mampu menahan beratnya penderitaan yang ia rasakan.

Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di meja samping ranjang, matanya berusaha fokus di tengah kabut rasa sakit. Dengan jari-jari yang nyaris tak mampu menekan layar, ia mencari nomor Galen.

Panggilan pertama tak diangkat. Ainsley mencoba lagi, menekan dengan panik, tetapi tetap tak ada jawaban. Setiap dering yang tak dijawab membuat dadanya semakin sesak, bercampur antara sakit fisik dan emosi yang mulai menghantamnya dari segala arah.

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang