Chapter 12

18.9K 678 7
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Ramaikan cerita ini ya, vote dan spam komen biar aku makin semangat buat update🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Sejak kembali dari rumah David dan Valeria, Ainsley seolah kehilangan semua cahayanya. Sepanjang perjalanan pulang, dia hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Galen, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil, bisa merasakan perubahan itu, meski ia tak mengatakan apa-apa.

Pagi itu, sinar matahari cerah menerobos jendela ruang makan, namun suasana hati Ainsley tampak sebaliknya, suram dan penuh awan gelap. Ia duduk di meja makan, mengunyah makanannya dengan pelan tanpa minat, seperti terjebak dalam dunianya sendiri. Galen, yang duduk di seberangnya, mengamati dengan tatapan tajam.

"Apa ada yang salah?" tanya Galen tiba-tiba, suaranya datar, tapi penuh rasa ingin tahu.

Ainsley mengangkat sedikit wajahnya, menatap Galen sejenak sebelum menggeleng perlahan. "Tidak," jawabnya singkat.

Galen menyesap air dari gelasnya, tak puas dengan jawabannya. "Kemarin kau baik-baik saja, tapi sejak kita pulang dari rumah David dan Valeria, kau jadi lebih banyak diam. Apa yang terjadi?"

Ainsley menyuapkan sayuran ke mulutnya, mengunyah tanpa tergesa. Setelah menelan, dia akhirnya menjawab, suaranya masih tenang. "Hanya perasaanmu saja."

Galen menatapnya lebih lama, mencium ada yang tak beres. Dia meletakkan gelasnya, menggesernya sedikit sebelum berbicara lagi. "Ini tentang apa yang kukatakan kemarin? Soal aku tidak ingin punya anak?"

Sekilas, gerakan tangan Ainsley terhenti. Ia menatap Galen dengan tenang, tapi dalam tatapannya tersirat sesuatu yang lebih dalam.

"Kenapa aku harus mempermasalahkan itu?" jawabnya dengan nada yang hampir netral.

"Aku minta maaf," Galen melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Aku hanya belum siap punya anak."

Ainsley mendesah pelan, menghentikan aktivitas makannya. Dia mendorong piringnya ke tengah meja, lalu bangkit perlahan dari kursinya. "Aku mengerti," ucapnya.

Namun, kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya membuat ruangan itu terasa lebih dingin.

"Lagipula, aku sadar, aku hanyalah propertimu. Wanita yang kau beli dari rumah bordil. Wanita yang kau nikahi bukan karena cinta, tapi karena tak bisa melunasi hutang-hutangnya."

Setelah mengatakan itu, Ainsley berbalik dengan tenang, melangkah pergi tanpa menunggu reaksi dari Galen. Sementara Galen hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasakan sebuah luka yang dalam meski ia tak pernah menyangka hal itu akan menyakitinya.

Kata-kata Ainsley, walau diucapkan dengan tenang, menghantamnya keras seperti cambuk tak terlihat.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Malam semakin larut, keheningan menyelimuti seluruh rumah, namun pikiran Galen tak henti-hentinya berputar. Ia duduk di ruang kerjanya, matanya terarah ke langit-langit, sementara tubuhnya bersandar berat pada kursi. Kata-kata Ainsley pagi tadi terus menghantuinya.

Setiap kalimat yang diucapkan Ainsley terasa seperti pukulan yang membuka luka lama yang pernah ia coba sembunyikan. Selama beberapa hari terakhir, tanpa disadarinya, Galen mulai melupakan rencananya.

Ia kembali terjerat oleh pesona Ainsley, oleh kenangan-kenangan yang pernah mereka bagi. Hatinya, yang seharusnya penuh dengan kebencian, perlahan melunak tanpa izin. Ia telah merasakan kembali perasaan yang dulu pernah ia padamkan.

Namun, ucapan Ainsley tadi pagi kembali mengingatkannya pada tujuan aslinya. Wanita itu bukan istri dalam arti yang sebenarnya, bukan seseorang yang ia nikahi karena cinta. Dia hanya pelacur, seseorang yang ia beli. Bukan lagi gadis yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati, melainkan wanita yang tega meninggalkannya ketika dia tak memiliki apa-apa.

Galen berdiri, mengambil langkah pasti keluar dari ruang kerjanya. Kakinya membawanya menuju kamar, tempat Ainsley tertidur nyenyak. Ketika dia membuka pintu, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah sosok Ainsley yang terbaring tenang di atas ranjang.

Dia berjalan mendekat, berhenti di samping tempat tidur, mengamati wanita itu dengan seksama. Ainsley selalu cantik, kecantikan yang tak pernah luntur, bahkan semakin matang seiring bertambahnya usia.

Kulitnya seputih porselen, hidungnya mancung sempurna, dan bibir tebal yang selalu memikat. Di balik kelopak matanya yang terpejam, ada sepasang mata hijau yang dulu membuat Galen jatuh cinta.

Tatapan Galen berubah, dari nostalgia menjadi lebih dalam. Dulu, dia memuja wanita ini, memperlakukannya seolah dia adalah segalanya. Tapi sekarang, ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapannya. Kekagumannya berangsur-angsur berubah menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih primitif. Nafsu.

Malam yang hening berubah menjadi mimpi buruk ketika Galen tanpa peringatan menundukkan wajahnya dan mencium bibir tebal Ainsley dengan kasar. Sentuhan yang tiba-tiba itu membuat Ainsley tersentak, terbangun dari tidurnya dengan mata yang melebar. Tangannya terangkat, mencoba mendorong tubuh Galen yang kini menindihnya, namun usaha itu sia-sia.

Galen mengabaikan penolakan Ainsley. Bibirnya semakin ganas, berpindah ke lehernya, meninggalkan bekas gigitan di kulit putih halus itu. Ainsley meringis, memohon dengan suara yang lemah,

"Hentikan..." Tapi permohonannya hanya menguap di udara. Galen merobek piyama Ainsley tanpa belas kasihan, tangannya menyapu tubuhnya dengan kasar, jauh dari kelembutan yang pernah ia rasakan malam sebelumnya.

Ainsley merasakan tubuhnya dirusak, disentuh dengan kekejaman yang tidak pernah ia duga akan datang dari pria yang dulu ia cintai. Punggungnya melengkung saat Galen tiba-tiba menghentakkan pinggulnya, menyerang kewanitaan Ainsley dengan brutal.

Rasa sakit yang mencekam menjalar ke seluruh tubuhnya. Sakit, perih, dan panas, menyatu dalam setiap gerakan Galen yang cepat dan kasar.

"Hent—" Ainsley mencoba berkata, namun kata-katanya terputus oleh jeritan kecil saat tubuhnya terhempas dengan keras. Sakitnya bukan hanya fisik, tapi juga emosional.

Tatapan mereka bertemu sejenak, dan di sana Ainsley tidak lagi menemukan kelembutan atau cinta yang pernah ada. Yang tersisa hanyalah tatapan penuh nafsu, hampa, dan dingin. Tatapan yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.

Air mata mulai mengalir, membasahi pipi Ainsley yang kini memerah. Dia tersengguk-sengguk dalam tangis yang penuh keputusasaan. Setiap detik terasa seperti siksaan, dan rasa sakitnya terasa tak tertahankan.

Melihat air mata Ainsley, Galen tiba-tiba berhenti. Dia berdiri, memandang tubuh Ainsley yang terguncang di atas ranjang dengan wajah yang hancur dan air mata yang tak berhenti mengalir.

"Fuck!" Galen mengumpat, lalu bergegas berjalan menuju kamar mandi, pintu tertutup keras di belakangnya.

Di sana, dalam keheningan kamar, Ainsley tersisa sendirian dengan tubuh dan hati yang hancur. Entah siapa yang sebenarnya dimaki Galen, bisa jadi Ainsley atau mungkin dirinya sendiri.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[10 September 2024]
-
-

Kalian mau aku kasih visual Ainsley sama Galen tidak? Atau mau berimajinasi sendiri tentang visualisasi suami istri ini?

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang