Chapter 30

17.3K 587 38
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Dari lembut menjadi keras, dari perhatian menjadi acuh. Mengapa segalanya berubah begitu drastis? Karena perempuan sering kali belajar dari cara dia diperlakukan.

Begitulah kisah Ainsley dan Galen terjalin, lambat, menyakitkan, seperti badai yang tak pernah reda. Apa yang Ainsley lakukan sekarang, sikapnya yang dingin dan jarak yang ia ciptakan, hanyalah bayangan dari bagaimana Galen memperlakukannya selama ini.

Di awal pernikahan mereka, Ainsley yang selalu berusaha mendekati Galen. Setidaknya, dia berharap ada secercah percakapan, satu momen di mana mereka bisa berbagi, meski hanya sebentar.

Namun yang diberikan Galen hanyalah dinding tak terlihat, tembok tinggi yang tidak bisa ditembus oleh cinta, perhatian, atau bahkan keputusasaan. Ainsley terjebak, tidak bisa maju ataupun mundur, terkunci dalam penjara ego yang Galen bangun di sekelilingnya.

Dulu, Ainsley berusaha keras memahami. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin dialah yang salah, bahwa dia adalah akar dari semua kebencian dan dendam yang muncul dalam hati Galen.

Tetapi, semakin hari dia semakin sadar, luka yang diberikan Galen tidak sebanding dengan kesalahan yang pernah ia buat. Ya, Ainsley pernah meninggalkan Galen di masa pacaran mereka, tetapi apakah itu layak dibalas dengan menghancurkan seluruh hidupnya?

Galen, dengan egonya yang besar, selalu meyakini satu hal; bahwa Ainsley meninggalkannya saat dia terpuruk, tanpa mencari tahu alasan di balik keputusannya. Bagi Galen, itu adalah pengkhianatan terbesar. Tapi yang tidak dia sadari adalah bahwa meninggalkan Galen bukan berarti Ainsley berhenti mencintainya.

Sekarang, tiga bulan telah berlalu. Mereka benar-benar seperti dua orang asing yang hidup di bawah satu atap. Perut Ainsley mulai terlihat, menandakan usia kandungannya yang memasuki bulan keempat.

Namun, seiring dengan tumbuhnya janin di dalam rahim Ainsley, jarak antara dia dan Galen semakin lebar, semakin tak terjangkau. Mereka berdua tampaknya sudah berjalan di jalan yang berbeda, masing-masing terlalu jauh untuk saling kembali.

Dalam diam, Ainsley mulai bertanya-tanya: Apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Tapi sayangnya, pertanyaan itu datang terlambat, setelah luka-luka yang sudah terlalu dalam terlanjur membekas di hati mereka berdua.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Di tengah ruang makan yang sunyi, hanya suara dentingan pisau dan garpu di atas piring porselen yang memecah keheningan. Galen duduk di ujung meja, berseberangan dengan Ainsley. Keduanya menikmati makan malam dalam kebisuan yang canggung. Namun, jika saja Ainsley sedikit memperhatikan, dia akan melihat tatapan Galen yang tak henti-hentinya tertuju pada perutnya yang mulai membuncit.

Suasana menjadi lebih tegang ketika Ainsley tiba-tiba meletakkan garpunya, raut wajahnya sedikit meringis. Kram di perutnya kembali menyerang, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini, disertai dengan nyeri di pinggang yang semakin menyakitkan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Galen, suaranya tenang tapi matanya memperlihatkan kekhawatiran yang nyata.

Ainsley tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas sebelum berdiri dari kursinya. Dia tidak berniat untuk berbincang lebih lanjut dengan Galen. Tanpa sepatah kata, Ainsley berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan, meninggalkan Galen yang hanya bisa memandang punggungnya dengan perasaan campur aduk.

Pelayan yang sejak tadi mengamati dengan cermat, melangkah mendekat dengan hati-hati. "Tuan," panggilnya lembut, "Nyonya belakangan ini memang sering mengeluh tentang kram perut dan nyeri di punggung. Saya sudah menyarankan agar beliau pergi ke dokter, tapi Nyonya selalu menolak. Katanya, itu hal biasa, dan beliau masih bisa menahan rasa sakitnya."

Galen menghela napas panjang, menatap kosong ke arah piring di depannya. Di dalam dirinya, ada perang antara egonya yang besar dan nalurinya sebagai seorang suami dan calon ayah.

Dengan satu hentakan, Galen berdiri dari kursinya, mengabaikan meja makan yang kini terasa semakin dingin, ia melangkah cepat menyusul Ainsley ke kamar. Saat membuka pintu, pemandangan Ainsley yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat dan tangan mengelus perut menyambutnya. Ada sesuatu yang meremas perasaannya, tapi egonya masih terlalu kuat untuk diakui.

"Kau belum memeriksakan kandungan bulan ini?" tanya Galen, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.

Tidak ada balasan dari Ainsley. Wanita itu hanya berjalan menuju kasur dan duduk tanpa melihat ke arah Galen.

Setengah kesal, Galen melanjutkan, "Setidaknya periksakan kandunganmu, atau sesuatu bisa terjadi pada bayimu."

Kalimat itu memicu sesuatu dalam diri Ainsley. Dengan cepat, dia berdiri, menatap Galen dengan mata penuh kemarahan.

"Apa pedulimu?" suaranya bergetar dengan amarah yang ditahan. "Kau bahkan tidak menganggap anak ini sebelumnya! Kau mempertanyakan siapa ayahnya ketika pertama kali tahu aku hamil. Dan sekarang, tiba-tiba kau merasa punya hak untuk peduli?"

Amarah Ainsley meledak, tetapi Galen tidak mau mundur. "Apa salahnya kalau aku mempertanyakan kondisinya? Jika aku ayahnya, aku juga punya hak atas anak itu, Ainsley!" bentaknya, tidak lagi bisa menyembunyikan gejolak emosi yang ia tahan selama ini.

"Kau tidak punya hak apa pun, Galen," teriak Ainsley dengan mata berkaca-kaca. "Anak ini hanya milikku! Setelah kita bercerai, aku akan pergi jauh darimu, dan kau tak akan pernah jadi ayah bagi anak ini!"

Suara Ainsley bergetar, penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang telah menumpuk selama berbulan-bulan. Galen hanya bisa berdiri diam, terperangkap dalam egonya sendiri, sementara hatinya perlahan hancur mendengar setiap kata yang diucapkan Ainsley.

"Apakah kau benar-benar ingin menghabiskan hidupmu bersama si Marvel itu?!" bentak Galen, suaranya penuh dengan kemarahan yang ia tahan selama ini.

Ainsley terdiam, dadanya naik turun menahan emosi. Ia tak pernah benar-benar memikirkan hal itu, namun saat Galen menyebut nama Marvel, entah bagaimana itu terasa seperti celah untuk akhirnya membuat pria di hadapannya benar-benar menyerah.

"Ya!" Ainsley membalas, matanya menyala penuh amarah. "Aku akan bersamanya! Aku akan hidup bahagia dengan pria yang mencintaiku, yang menerima diriku sebagai istrinya, bukan hanya sebagai pemuas di atas ranjang! Pria yang tak pernah mempertanyakan anak ini, yang tak pernah meragukan darah siapa yang mengalir dalam tubuh bayi ini!" Suaranya semakin meninggi, seolah setiap kata adalah tamparan bagi Galen.

Mata Galen memicing. "Kau pikir aku tak mencintaimu?"

Tanpa aba-aba, Ainsley melangkah maju dengan penuh amarah, tangannya terangkat dan mendorong dada Galen berulang kali, meskipun tubuh pria itu tak bergeming.

"Mana?! Tunjukkan padaku mana cinta itu, Galen!" Ainsley berteriak dengan suara pecah, air mata yang lama ia tahan kini mengalir deras di pipinya.

Ia terus memukul-mukul dada Galen, tidak keras, tapi cukup untuk menunjukkan betapa perih hatinya. Galen hanya diam, menatap Ainsley dengan mata yang penuh sesal. Tangannya terangkat sedikit, ingin menyentuh Ainsley, tapi ragu-ragu, tak yakin apakah sentuhannya akan diterima atau malah membuat luka itu semakin dalam.

Ainsley terisak, terhuyung lemah, emosinya meledak bersama rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Kau membiarkan aku hancur. Kau membiarkan kita hancur…" suaranya bergetar, nyaris tak terdengar di antara isakannya.

Dan di saat itu, Galen tahu ia telah membuat kesalahan besar. Tapi apakah sudah terlambat?

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[26 September 2024]
-
-

Aku baca beberapa komen, banyak sekali yang mau Ainsley dan Galen cerai. Kalian seriusan mau mereka pisah?🤣

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang