Chapter 33

14.7K 458 13
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa untuk selalu tekan vote dan ramaikan komentarnya ya🫶🏻

Meski tidak sampai 100 vote, aku tetap kasih double update 🙂‍↔️

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Milan Conservatory College of Music
Milan, Italy – Delapan Tahun Lalu

Bulan ini, seharusnya menjadi momen bahagia bagi Ainsley dan Galen. Tepat satu tahun hubungan mereka. Namun, berita mengenai penurunan bisnis ayah Galen telah mengubah segalanya. Rencana perayaan ulang tahun pertama hubungan mereka kini terasa seperti bayangan yang jauh. Ainsley, yang sejak kemarin tampak menghindar, terus menjauh dari Galen dengan langkah cepat di lorong kampus.

"Kau sibuk?" suara Galen terdengar cemas di belakangnya, mencoba mengikuti langkah tergesa Ainsley.

Ainsley menghela napas panjang, menggenggam erat buku musik yang terasa semakin berat di tangannya. "Ya, aku sibuk," jawabnya dengan datar.

"Dari kemarin kau tak bisa dihubungi. Ke mana saja kau?" desak Galen, matanya mencari-cari jawab di wajah Ainsley, berharap menemukan alasan di balik sikapnya yang tiba-tiba berubah.

Langkah Ainsley mendadak berhenti. Ia memutar tubuh, menatap Galen dengan dingin. "Aku sudah bilang, aku sibuk. Aku harus belajar. Beberapa minggu lagi ada pertunjukan, dan itu sangat penting untuk nilai semester. Aku harus latihan setiap sore bahkan malam. Jadi, berhentilah menuntut perhatian dariku. Kau pun seharusnya fokus pada kelulusanmu!"

Galen terdiam. Wajahnya menunjukkan kebingungan dan rasa sakit yang dalam. Baru satu minggu lalu, segalanya masih baik-baik saja di antara mereka. Tidak ada pertanda, tidak ada masalah. Tapi sekarang, Ainsley seolah menjauh dengan alasan yang tak sepenuhnya bisa ia pahami.

"Jam 7 malam, aku akan menunggumu di depan gereja," kata Galen akhirnya, suaranya terdengar tegas namun penuh harap.

Ainsley mengigit bibirnya, menahan emosi yang mulai membanjiri hatinya. Ia tahu, kata-kata yang akan diucapkannya berikutnya akan menyakitkan.

"Tak perlu menunggu. Aku tidak akan datang," ucapnya dengan dingin, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Galen yang terpaku di tempatnya.

Di setiap langkah yang diambilnya, Ainsley merasakan hatinya retak sedikit demi sedikit. Tangannya terangkat ke pipi, menyeka air mata yang diam-diam jatuh, tanpa pernah berani menoleh kembali pada Galen yang ia tinggalkan di belakang.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Galen berdiri tegak, memandangi siluet gereja di hadapannya. Tangan kirinya tenggelam di dalam saku jaket, sementara tangan kanannya menggenggam erat sebuket mawar merah, bunga favorit Ainsley. Hembusan napasnya menciptakan gumpalan asap putih di udara malam yang dingin, menandai betapa lama ia telah menunggu di sana.

Satu jam, dua jam, bahkan tiga jam berlalu. Ainsley tak kunjung datang. Galen menunduk, tatapannya jatuh pada sepatu Nike yang mulai basah oleh embun malam.

Hatinya mulai menerima kenyataan pahit, mungkin Ainsley memang tak menginginkannya lagi. Ironis, mengingat wanita itulah yang pertama kali mendekatinya dulu, saat segalanya masih sempurna. Sekarang, dia merasa seperti sampah yang terbuang.

Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak membuyarkan lamunannya. Galen menoleh dan di sana, berdiri Ainsley dalam balutan long coat biru tua, yang kini perlahan berjalan ke arahnya. Jantungnya berdebar, berharap namun bersiap menghadapi yang terburuk.

"Kau datang," gumam Galen pelan. Matanya melirik ke belakang Ainsley, memperhatikan Marvel yang berdiri beberapa meter di sana, bersandar santai di kap mobil. "Datang dengannya?"

Ainsley hanya melirik sekilas ke arah Marvel sebelum menatap Galen dengan pandangan yang sulit diartikan. "Ayo kita akhiri semuanya. Ayo kita putus," ucapnya tanpa basa-basi.

Bunga di tangan Galen terkepal kuat, seakan refleksi dari hatinya yang terhimpit mendengar kata-kata itu. "Alasannya?"

Ainsley mendengus pelan, tak ada keraguan di suaranya. "Kau masih bertanya? Kau sudah tak setara denganku. Ayahmu bangkrut, dan kau tak mungkin bisa menjamin hidupku dengan kondisimu sekarang."

Galen terdiam, sorot matanya kosong namun penuh dengan luka yang dalam. Kata-kata Ainsley bagaikan pedang yang menusuk langsung ke jantungnya. Tanpa kata, dia menunggu. Mungkin, hanya mungkin, ada keraguan di hati Ainsley.

Namun tidak ada.

"Putuskan saja semuanya, Galen. Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita. Anggap saja semua ini angin lalu."

Mata Galen tetap terpaku pada Ainsley, mencoba mencari sedikit rasa yang mungkin tersisa. "Kau sudah tak mencintaiku?"

Ada jeda sejenak, cukup lama untuk merasakan tekanan yang mengalir di antara mereka. Akhirnya, Ainsley menjawab dengan datar, "Tidak."

Hati Galen hancur, namun wajahnya tetap tenang. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah," katanya, suaranya serak. "Aku mengerti."

Dia menatap buket mawar merah di tangannya. Bunga yang dulu penuh makna, kini terasa hambar dan tak berarti. Dengan gerakan tenang, ia berbalik, melangkah menjauhi Ainsley. Saat melewati tong sampah di pinggir jalan, dia melemparkan bunga itu tanpa ragu, seolah membuang seluruh kenangan yang pernah mereka bagi.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Sudah satu minggu berlalu sejak hari di mana hubungan Galen dan Ainsley resmi berakhir. Sejak saat itu, dunia Galen terasa seperti berhenti berputar. Ia menutup diri, terkurung dalam kamar yang gelap dan sunyi, hanya keluar sesekali untuk alasan yang tak jelas.

Kehidupan kampusnya terbengkalai, dan terakhir kali ia datang ke sana adalah tiga hari yang lalu, hari di mana ia melihat Ainsley tertawa bersama Marvel di bawah pohon. Wanita itu tampak bahagia, seakan hubungannya dengan Galen tak pernah berarti apa-apa.

Pagi ini, sisa dari malam panjang yang dihabiskan dengan botol-botol wine masih terasa di kepalanya. Pening, berat, dan hampa. Matanya menatap kosong ke ponsel di samping tempat tidurnya, deretan lebih dari 20 panggilan tak terjawab dari ayahnya terpampang di layar.

Galen menghela napas panjang, rasa malas menghantui dirinya. Sejak beberapa hari terakhir, ayahnya terus mencoba menghubunginya, berusaha menghibur meski Galen selalu menolaknya.

Tanpa berpikir panjang, dia akhirnya mengangkat panggilan berikutnya. "Apa?" suara Galen terdengar parau, serak karena tidur yang tak nyenyak dan tenggorokan yang kering.

Hening. Untuk beberapa detik, hanya suara napas yang terdengar di ujung telepon. Lalu setelahnya, suara gemetar ayahnya, August terdengar merambat melalui telepon, menembus keheningan pagi itu. "Galen, Ibumu... dia mengalami kecelakaan mobil. Dia... tidak selamat."

Dunia Galen seketika runtuh. Napasnya terhenti, dan tiba-tiba segala rasa sakit akibat putus cinta seakan tak ada artinya dibandingkan berita ini. Ponsel itu terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai, tapi Galen tak peduli. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh, sementara kepalanya hanya dipenuhi satu pikiran — ibunya, sosok yang selama ini menjadi fondasi hidupnya, kini tak lagi ada.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[28 September 2024]
-
-

Apa pandangan kalian sama Galen setelah ini berubah? Atau tetap sama?

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang