Chapter 24

17.6K 603 2
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Suara napas berat Ainsley memenuhi kamar, tubuhnya terpejam saat hentakan Galen semakin cepat menghujam miliknya. Tangannya mencengkram erat sprei, berusaha menahan gelombang gairah yang melanda. Galen, yang dalam keadaan mabuk, tampak kehilangan kendali, dorongannya semakin cepat dan intens.

"Pelan-pelan, bodoh," desah Ainsley, berusaha mengatur ritme saat Galen tampak semakin bersemangat.

Ketika mereka berada di lantai bawah, Ainsley hanya berusaha menangani racauan Galen dengan sabar. Namun, keputusannya untuk mengikuti pria itu ke ranjang mengubah malam mereka menjadi lebih intens. Ainsley mengkhawatirkan kondisinya, di usia kehamilan yang baru satu bulan, apakah aman melakukan hubungan intim seintens ini?

Galen, dalam kepalanya yang kacau oleh alkohol, terus memuji Ainsley dengan nada serak dan penuh gairah.

"Kau… cantik sekali," ucapnya sambil menahan erangan, suaranya terputus-putus oleh napas yang tersengal.

Pujiannya tak terhitung, setiap kata seolah meluncur dengan dorongan emosional yang mendalam. Ainsley, meski merasa terguncang oleh dorongan Galen, tak bisa mengabaikan betapa pria itu tampak tampan dalam kegilaannya, tatapan penuh gairah, keringat yang membasahi wajah dan desahan yang terputus-putus.

Tubuh Ainsley terguncang lebih cepat seiring dengan ritme Galen yang semakin keras. Tangan Galen meraih tangan Ainsley yang sebelumnya mencengkram sprei, mengunci kedua tangan wanita itu di atas kepala dengan satu tangan besarnya.

Tangannya yang lain menjelajahi dada Ainsley, jari-jarinya menyentuh dengan lembut namun penuh hasrat. Galen menenggelamkan kepalanya di sisi wajah Ainsley, menggigit lembut telinga wanita itu, dan mengerang dalam kepuasan saat akhirnya mencapai klimaksnya.

Ainsley merasa setiap getaran dari tubuh Galen yang menekan dalam, membanjiri dirinya dengan rasa campur aduk, antara kekhawatiran dan kenikmatan, saat mereka akhirnya menyentuh titik akhir dari momen yang intens ini.

Namun itu masih belum berakhir, malam masih panjang dan keduanya memiliki cukup banyak waktu hanya untuk menghabiskan malam indah itu hingga bunyi burung terdengar.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Galen mengerang pelan saat sinar matahari menyeruak masuk ke kamarnya, menusuk kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya yang terpantul dari selimut putih yang sebagian menutupi tubuhnya.

Kepalanya terasa berat, denyut mabuk dari malam sebelumnya masih membekas, seperti palu yang mengetuk pelan namun konstan di dalam tengkoraknya.

Ia duduk perlahan, mengulurkan tangan meraih gelas air di samping ranjang, meneguknya hingga tandas. Namun, meski kesegaran air mengalir di tenggorokannya, ia tetap tidak bisa mengingat apa yang benar-benar terjadi semalam. Ingatannya hanya sampai di klub, saat beberapa temannya datang dan menemani minum. Setelah itu, segalanya kabur.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian, Galen keluar dari kamar, mencoba mengabaikan pening yang masih mengganggu. Perutnya mulai keroncongan. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, dan dia baru sadar betapa kelaparannya ia.

Ketika ia tiba di ruang makan, pemandangan yang ia temukan sedikit mengusik dirinya. Ainsley duduk di meja makan, terlihat tenang saat berbicara dengan salah satu pelayan sambil menyantap makan siangnya. Seolah tak ada yang terjadi kemarin, seolah tak ada percakapan penuh emosi di antara mereka, tentang perceraian.

Kenangan percakapan terakhir itu menggerogoti pikiran Galen. Ainsley meminta cerai setelah kelahiran anak mereka, sebuah pukulan yang meski diucapkan tanpa emosi, telah menghancurkannya dari dalam.

Sesaat, Galen hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang makan, memandangi istrinya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Ainsley duduk di sana, seakan dia telah menarik diri lebih jauh dari yang Galen sadari.

Tanpa berkata apapun, Galen mendekat, duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Tatapan Ainsley naik, bertemu dengan matanya sejenak, tetapi tidak ada percikan. Hanya keheningan, dingin, seperti jurang yang semakin melebar di antara mereka.

"Makanan sudah dingin, tapi masih ada," ucap Ainsley tanpa emosi, seolah apa yang terjadi semalam tak lebih dari angin lalu.

Galen menatapnya, mencoba merangkai kata-kata di kepalanya, tetapi yang terucap hanya satu kalimat yang penuh dengan kelelahan dan keraguan, "Apakah kau masih yakin ingin bercerai?"

Ainsley tidak langsung menjawab. Hanya ada jeda panjang di antara mereka, sebelum akhirnya ia meletakkan garpu dan pisau, menatapnya dengan tenang.

"Aku masih mempertimbangkannya, Galen," jawabnya lirih, dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Aku akan bicara dengan pengacaraku. Dia akan mengurus semuanya. Atau kau lebih ingin mempercepat perceraian ini? Aku bisa mengatur agar kita tak perlu menunggu sampai anakmu lahir," ucap Galen, suaranya datar, hampir tanpa emosi. Namun, setiap kata yang keluar terasa seperti pukulan bagi Ainsley, menghantam keras hatinya.

Ainsley terdiam, benaknya penuh dengan gejolak emosi yang menjerit, memohon agar perceraian ini tidak terjadi. Anaknya bukan hanya miliknya, itu anak mereka. Tapi kata-kata itu hanya terjebak dalam batinnya, tak mampu terucap.

Ainsley menarik napas, berusaha menjaga ketenangannya. "Bukankah kau yang sebenarnya ingin bercerai lebih cepat?" tanyanya, menatap Galen dengan tatapan yang tak lagi penuh emosi, namun dengan ketenangan yang menohok.

Galen mendelik, matanya menyipit marah. "Kau yang pertama kali bilang ingin bercerai, Ainsley," tukasnya, nada suaranya penuh tuduhan. "Aku hanya mengikuti keinginanmu."

Ainsley merespon dengan tawa pendek, getir, yang terdengar lebih seperti ejekan. "Kau selalu menyerah, Galen. Selalu begitu sejak dulu." Ia berdiri, tubuhnya terasa lemah namun matanya kini menyala dengan rasa frustrasi yang telah lama tertahan. "Waktu aku memutuskan hubungan kita dulu, kau hanya diam. Tidak ada perlawanan, tidak ada usaha. Kau hanya menerima tanpa bertanya, tanpa berjuang. Dan sekarang, hal yang sama terjadi lagi."

Galen hanya menatapnya, mulutnya terkatup, tak mampu membalas. Kata-kata Ainsley menusuk dalam, membuat Galen terdiam sejenak. Selama ini, ia memang merasa terluka, merasa ditinggalkan tanpa penjelasan, tapi mendengar Ainsley menuduhnya seperti itu membuat segala sesuatu yang ia rasakan berputar di kepalanya. Apa benar ia yang tak pernah berjuang? Atau mungkin ia terlalu terjebak dalam egonya sendiri?

"Aku menyerah karena kau yang memilih pergi, Ainsley," ucap Galen dengan suara serak, matanya kini dipenuhi ketegangan. "Dan sekarang kau ingin aku memperjuangkan apa? Pernikahan yang bahkan sejak awal tidak pernah kau inginkan?"

"Kau selalu memilih jalan paling mudah. Kau tidak pernah berjuang untuk sesuatu, tapi selalu merasa paling terluka." Kata-kata Ainsley menusuk lebih dalam dari apapun yang pernah diucapkannya sebelumnya.

Mereka bukan sekadar mengatakan keluhan; mereka mengutarakan segala kebenaran yang selama ini terpendam, membakar dari dalam, dan akhirnya tumpah.

Hening sejenak, sebelum Ainsley melanjutkan, suaranya lebih lembut namun masih penuh ketegasan.

"Aku lelah menjadi satu-satunya yang harus bertarung untuk sesuatu yang kau sendiri tak pedulikan. Jadi jika kau ingin cepat mengakhiri ini, lakukan saja. Tapi aku tidak akan menjadi orang yang terus-menerus menyerah pada ego dan rasa sakitmu, Galen."

Galen terdiam, kata-kata Ainsley menggema di pikirannya. Tapi seperti biasa, ia memilih untuk tetap bisu, membiarkan rasa marah dan frustasi membangun dinding lebih tinggi di antara mereka.
Diam mulai menguasai ruangan, yang tersisa hanyalah jarak di antara mereka yang semakin sulit dijembatani.

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Faded Desire
[20 September 2024]
-
-

Mungkin, dibeberapa part selanjutnya akan banyak sekali kilas balik tentang bagaimana Ainsley dan Galen dimasa dulu. So, tungguin terus cerita ini ya ❤️

FADED DESIRE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang