Tiga orang pria berjubah tampak menikmati makan siang mereka di suatu kedai kecil di tengah Hadramaut. Matahari menyala sangat terang dan terik, tak jarang mereka mengibaskan tangan mereka karena kegerahan.
Arzan menyeka keringat di keningnya sembari menatap sekelilingnya. Shibam, kota tua yang terletak di padang pasir di tengah Yaman.
"Kau belum pernah kesini, nak? Ini adalah kota Shibam, biasanya orang-orang yang datang kesini akan mengenalnya dengan kota pencakar langit. Bahkan sudah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO."
Arzan mengangguk. Ia masih mengagumi pemandangan di hadapannya, setiap bangunannya terbuat dari tanah liat, warna kuningnya yang keemasan menambah kesan memukau apalagi jika siang hari, namun ada juga diantaranya yang berwarna coklat dan putih yang juga menambah kekhasan kota kecil ini.
"Tuan Umar, apakah perjalanan ke Tarim masih jauh?" Tanya Mumtaz dengan bahasa arabnya yang fasih.
"Hahaha... tidak sejauh dari Mukalla ke kota ini, nak. Bersabarlah, kita akan segera sampai."
Mendengar itu, Arzan dan Mumtaz saling bertatapan dan tersenyum lega. Bisa dibilang perjalanannya yang menghabiskan waktu berjam-jam dari Mukalla sangat lelah, namun mereka sangat puas karena telah diberi kesempatan untuk menikmati Negeri Yaman.
"Taz, akhirnya setelah ini kita akan sampai di tempat yang lama kita impikan."
"Benar, aku ingin belajar banyak hal disana. Kau sudah membawa beberapa kitab yang ingin kita kaji disana kan?"
"Wasoya Nafiah lil Imam Haddad, Nasim Nafahat Haajiri li Habib Abdullah Syathiri, dan kalam Habib Muhammad al-Haddar, lengkap, sudah ku bawa semua."
Pria paruh baya yang menyimak percakapan mereka tersenyum, semangat yang kedua pemuda itu tunjukkan membuat Tuan Umar mengingat masa mudanya dulu.
"Baiklah, anak muda, kita lanjutkan perjalanan," Tuan Umar memakai pecinya dan beranjak menuju mobil putih yang terparkir di pinggir jalan Shibam, diikuti oleh Mumtaz dan Arzan.
"Tunggu, Tuan Umar. Boleh kita berfoto sebentar?"
Tuan Umar mengangguk, "tafadhol!"
Arzan segera mendekatkan posisinya kepada Tuan Umar dan Mumtaz lalu mengarahkan kamera ponselnya ke wajah mereka.
Cekrek! Cekrekk!!
Dua foto selfie ia dapatkan. Kemudian mereka bersama-sama menaiki mobil."Dari tadi kau sudah banyak sekali mengambil gambar, Zan. Pasti orangtuamu akan senang jika kau menunjukkannya," ucap Mumtaz sambil menoleh ke belakang.
"Tentu saja," jawab Arzan. Aku juga ingin menunjukkannya pada Ayla, batinnya, ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang manis.
"Kau tidak lupa mengambil foto di Khour?" Tuan Umar yang konsentrasi menyetir menanggapi.
"Semuanya sudah tersimpan di kepalaku juga, tuan. Setelah ini aku akan menyiapkan memori yang lebih besar untuk memasukkan segala keindahan di Tarim," Arzan menyengir.
"Hahahaaa... Aku juga sudah sangat rindu dengan Al-Ghanna."
"Al-Ghanna?" Arzan dan Mumtaz bertanya-tanya.
"Tarim Al-Ghanna, julukan yang tersemat untuk Tarim. Kalian tau apa tafsiran dari julukan itu?"
"Tidak, tuan."
"Ada dua penafsiran, pertama karena kota ini kaya akan keberadaan para wali dan ulama. Kedua, bisa diartikan sebagai kota yang rindang. Setelah kita sampai kalian akan tau bagaimana teduh dan indahnya suasana Kota Tarim."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Triple A
RomanceAisya, Atika, Ayla. Tiga wanita cantik dengan kisah-kisah mereka yang berwarna bermula di pesantren. Aisya "Aku tak mau berharap terlalu tinggi untuk mendapatkanmu, kita bagai bumi dan langit yang sulit menyatu." Atika "Di saat hatiku belum siap men...