Tiga hari berlalu di Pesantren As-Salam, semua santri melakukan aktifitas seperti biasa. Suara Umi Halimah sedang mengkhatamkan Al-Qur'an di ruang tengah membuat Amir ikut terhanyut di dalamnya, mendengarkan setiap lantunan indah dari lisan uminya, lisan yang selalu dihiasi dengan dzikir dan muroja'ah, lisan yang selalu menuturkan petuah-petuah hebat untuknya. Sejenak ia melanjutkan aktifitasnya, membuka lembar demi lembar kitab yang baru beberapa hari ini ia pelajari, sekarang ia harus lebih banyak belajar untuk diajarkannya kepada para santri di malam hari.
Di antara ilmu yang ia geluti adalah bidang nahwu dan shorof. Bagi sebagian santri yang baru mengenal bidang ini, menurut mereka ini adalah ilmu yang sangat rumit. Namun untuk Amir ilmu ini sangat seru untuk dimengerti. Terbukti ketika saat ini ia tengah mempelajarinya selama hampir dua jam duduk di ruang tengah tanpa mengeluh sedikitpun.
"Amir, sudah dulu belajarnya, antar umi ngontrol kegiatan pesantren ya, abimu masih istirahat, kasihan kalau mau umi bangunkan. Sepertinya abi kelelahan setelah mengisi pengajian di Gresik kemarin."
Amir menutup kitabnya, "inggih, umi."
Sudah lama ia tak menemani umi dan abinya walau hanya sekedar jalan-jalan, mungkin karena kesibukan Amir di beberapa minggu terakhir ini.
Para santri putri yang Amir lewati menunduk seraya berbaris mengantri untuk mencium tangan Bu Nyainya. Bergantian mereka mendatangi Umi Halimah setelah sebelumnya meletakkan peralatan kebersihan yang mereka pakai.
Tak jarang dari mereka menatap kagum dengan Amir walaupun setelah itu menunduk ta'dzim, momen langka melihat gusnya mengunjungi pesantren putri, karena setiap hari mereka hanya bisa melihat Amir di aula pesantren.
"Kamu belum memikirkan tentang pernikahan, Le?" Umi Halimah mulai mengungkapkan maksud hatinya.
Amir diam sambil melihat rerumputan kecil yang ia pijaki di taman. Ia bingung menjawab bagaimana, sementara memang sekarang ia belum terpikirkan kesana. Ia menggeleng.
"Sudah ada wanita yang dipikirkan?"
Kali ini pandangannya ke depan, melihat berpuluh-puluh bunga yang menghiasi pesantren.
"Amir masih bingung, umi."
"Kamu itu, bingung kenapa?"
Amir tersenyum menampakkan gigi gingsulnya. Manis sekali, untung saja tidak ada seorang wanitapun yang ia lewati, jika ada, mungkin ketika melihat senyumnya, bukan tak mungkin wanita itu akan mengidolakan Amir.
"Jangan senyum-senyum aja to, Le. Jawab dengan yakin gitu."
Sebenarnya ia juga belum terlalu yakin dengan perasaannya saat ini. Memang degupan jantung selalu ia rasakan, bahkan kekhawatiran dan juga kebahagiaan ketika bertemu juga telah ia rasakan, namun semua itu tak cukup meyakinkan hatinya bahwa wanita itu adalah yang ia inginkan.
"Sini, duduk." Umi Halimah mengajak Amir duduk di salah satu kursi taman yang di sampingnya pohon meneduhkan ketika matahari muncul menyengat.
"Jangan lama-lama menyimpan seorang wanita dalam pikiran, ndak baik, bisa jadi zina hati. Jika memang ada, umi ingin kamu bisa cerita ke umi atau abi. Apapun itu. Seperti mbakmu kemarin, dia juga nggak takut cerita ke abi dan umi tentang calon suaminya."
"Inggih, umi. Kalau ada, pasti Amir ceritakan ke umi."
"Berati sekarang belum ada?"
Amir menggeleng. Hatinya masih ragu untuk bercerita, nanti saja jika Allah sudah memberikan keyakinan padanya, ia pasti akan bercerita dengan kedua orangtuanya.
"Anak bagusku, sudah dewasa sekarang," Umi Halimah mengusap-ngusap lengan dan belakang kepala Amir yang tidak tertutup kopyah.
Amir tersenyum, pikirannya kembali melayang pada seorang gadis ceria yang selalu berhasil menyita perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Triple A
RomanceAisya, Atika, Ayla. Tiga wanita cantik dengan kisah-kisah mereka yang berwarna bermula di pesantren. Aisya "Aku tak mau berharap terlalu tinggi untuk mendapatkanmu, kita bagai bumi dan langit yang sulit menyatu." Atika "Di saat hatiku belum siap men...