"Ustadzah Syifa, berkas absen aku taruh meja ya," ucap Aisya.
"Oke, aku masih ngerjain jadwalnya, bisa minta tolong ambilkan flashdisk disitu?" Pinta Syifa sambil menunjuk ke arah tas yang tergeletak di samping lemari baju kamarnya.
"Oke. Permisi, aku buka ya, ustadzah," Aisya mulai membuka tas milik Syifa.
"Makasih," ucap Syifa ketika flashdisk berwarna merah jambu sudah beralih ke tangannya.
"Kayaknya kalau di dalam ma'had gini lebih enak manggil nama biasa aja, bisa kan, Sya?""Bisa sih, tapi nggak biasa," jawab Aisya sambil duduk di kasur belakang Syifa.
"Emang kamu baru kali ini kan nginep di kamar, dari dulu belum pernah."
Aisya mengangguk.
"Oiya udah jam setengah tiga, mau ashar. Kamu wudhu duluan deh di kamar mandi, nanti aku antri."
"Siap, ustadzah, eh! Maksud aku, Syifa. Hehe maaf belum kebiasa."
Syifa tersenyum melihat Aisya yang berlalu ke kamar mandi. Sebenarnya ia masih merasa menyesal dengan perbuatannya kepada Aisya, namun hatinya sudah lega karena dapat berdamai lagi dengan gadis itu.
Setelah mendengar adzan, mereka bergegas memakai mukena dan berangkat ke musholla pesantren. Sesekali Syifa tertawa karena mendengar cerita Aisya yang menurutnya sangat lucu, kini ia merasa punya sahabat lagi setelah satu tahun ditinggalkan oleh Mira sahabat sekamarnya dulu. Ia tidak menyangka, seseorang yang dulu sempat ia cela sekarang telah menjadi teman suka dukanya, semoga.
Tak sengaja mereka berpapasan dengan Amir. Pemuda itu melihat ke arah mereka, atau lebih tepatnya ke arah Aisya. Senyumnya terukir, tipis, mungkin tak terlihat di mata Aisya yang juga tengah menatapnya kemudian menatap Syifa yang menunduk takut seperti orang yang menghindari bos galaknya. Aisya menggandeng tangan Syifa dan menatap Amir lagi, memperlihatkan bahwa hubungannya dengan Syifa sudah membaik.
Amir hanya tersenyum. Ia sudah menyangka bahwa kedua gadis itu telah saling memaafkan. Namun ada satu hal yang juga menyita perhatian Amir pada Aisya.
Setelah mereka masuk ke dalam shaf, Amir segera berjalan masuk ke dalam musholla.
Kali ini Umi Halimah dan Kyai Kholil sedang ada undangan jadilah Amir yang menjadi imam. Semua santri berjama'ah dengan khusyuk sampai dzikir dan do'a dibaca.
"Ustadzah Aisya, boleh tanya sesuatu?"
Tanya Syifa sambil melipat mukenanya bersamaan dengan riuhnya para jamaah yang lain."Boleh," jawab Aisya sambil mengangguk.
"Ning Nayla dulu kenapa bisa langsung dekat dengan kamu?"
"Ooh itu, memang dulu pas awal pulang dari Yaman, Gus Amir dan Ning Nayla nggak sengaja ketemu aku di jalan. Nah ternyata Ustadz Tsaqif juga ustadznya Ning Nayla dulu sebelum kuliah. Emmm dari situ Ning Nayla jadi deket sama aku, tapi aku yang sungkan soalnya ngerasa nggak pantes gitu, ustadzah."
Mereka berjalan keluar musholla sambil tetap berbincang. Menjawab sedikit persoalan dari Syifa tentang keluarga ndalem membuatnya agak khawatir akan menyinggung Syifa lagi.
"Ustadzah!" Panggil seseorang dari kejauhan, membuat Aisya dan Syifa menoleh bersamaan.
"Inggih, gus?"
"Ini berkas pengambilan kartu ujian saya titipkan kalian, tolong sampaikan ke ustadzah yang lain untuk dibagikan ketika jam diniyah malam."
Mereka mengangguk pasti, meskipun dalam hati Syifa ada semburat perasaan takut dengan gusnya itu, ia hanya bisa menunduk dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Triple A
RomanceAisya, Atika, Ayla. Tiga wanita cantik dengan kisah-kisah mereka yang berwarna bermula di pesantren. Aisya "Aku tak mau berharap terlalu tinggi untuk mendapatkanmu, kita bagai bumi dan langit yang sulit menyatu." Atika "Di saat hatiku belum siap men...