"Mas Adzin ndak papa? Sepertinya dari tadi kurang fokus."
Orang yang disenggol pun segera tersadar dari lamunannya.
"Aman, gus. Maaf, tadi bilang apa memangnya?""Mas Adzin kan sudah pernah mondok salaf bertahun-tahun, saya mau meminta tolong barangkali jika malam hari sampean mau mengajari para santri, jika luang."
"Emm, maaf, gus. Bukan maksud untuk menolak tapi kadang pekerjaan saya menuntut untuk lembur. Hanya sekali waktu saya memang menyempatkan kesini untuk menimba ilmu lagi."
Amir memahami posisi Adzin. Bisa dibilang mereka berdua sering bertemu untuk memusyawarahkan beberapa hal, mulai dari kajian kitab sampai kegiatan di pesantren.
"Iya padahal Mas Adzin cocok kalau ngajar kitab di pesantren, saya lihat juga bagus. Terima ae, mas. Tambah barokah nanti ilmunya," sahut Iwan.
"Jangan berlebihan seperti itu, mas. Saya ndak ada apa-apanya kalau dibandingkan asatidz yang lain. Kalau mas Iwan sendiri gimana?"
"Hahaa... Aku lho sebenernya kepingin ngajar juga di pesantren, itung-itung mengamalkan ilmu, tapi ada tuntutan lain."
"Saya juga, gus. Hanya bisa menemani jenengan syawir seperti ini saja, ndak bisa mengajar di pesantren karena pekerjaan."
Amir segera menjawab curhatan dari kedua sobatnya itu.
"Sudah sudah, kok jadi curhat begini. Mengamalkan ilmu tidak hanya dengan mengajar disini. Kalian memperjuangkan dan menegakkan ilmu bisa dimana-mana, termasuk memberi tanggapan dan saran untuk saya saat syawir seperti ini juga termasuk ngamalkan ilmu."Adzin dan Iwan manggut-manggut. Sekarang Adzin sudah sangat dekat dengan Amir, berawal dari tekadnya untuk berubah menjadi lebih baik, kini ia berteman baik dengan Amir dan Iwan.
Seorang abdi ndalem muncul dari balik pintu sambil membawa nampan berisi pisang goreng yang masih panas.
"Wuah cocok ini, terimakasih ya," ucap Iwan.
"Terimakasih, mbak," timpal Adzin.
Pipi gadis itu memerah, ia tak kuasa menahan senyumnya lalu perlahan meninggalkan mereka bertiga.
Ketiga pemuda itu berdoa dan mengakhiri kajian kitab mereka.
"Le, sudah selesai ngajinya?" Umi Halimah datang mendekati Amir.
Adzin dan Iwan spontan berdiri sambil menunduk ta'dzim."Sampun, mi."
"Sudah, duduk saja." Umi Halimah ikut duduk di karpet tebal itu, tepat di samping Amir.
"Begini, setelah haflah, hari rabunya umi minta kalian kesini ya."
"Memangnya kenapa, umi?"
"Keluarganya Hana mau kesini juga, kan kita harus siap-siap sebagai tuan rumah. Jadi teman-teman kamu bisa bantu-bantu."
"Inggih, in syaa Allah bisa, umi," ucap Adzin dan Iwan.
"Tapi, umi. Kenapa harus kesini?" Tanya Amir yang masih cemas.
"Yo ndak papa, kemarin kita sudah silaturrahim kesana, yo sekarang gantian. Biar adil."
Umi Halimah melihat ke arah dua pemuda di depannya, "sudah, umi cuma mau bilang begitu, ayo lanjutkan! Pisang gorengnya mumpung masih panas."
"Inggih, umi."
Amir terlihat cemas, kopi di hadapannya tidak ia sruput lagi, bahkan pisang goreng favoritnya belum ia santap.
"Hana itu siapa, gus?"
"Wan, panggil biasa saja."
"Ndak, sungkan ada keluarga ndalem."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Triple A
RomanceAisya, Atika, Ayla. Tiga wanita cantik dengan kisah-kisah mereka yang berwarna bermula di pesantren. Aisya "Aku tak mau berharap terlalu tinggi untuk mendapatkanmu, kita bagai bumi dan langit yang sulit menyatu." Atika "Di saat hatiku belum siap men...