part 40

19 3 0
                                    

Matahari sudah lurus di atas kepala, banyak pelajar berlalu lalang di jalan, terlihat dari teras toko baju milik Bunda Salma, istri Ustadz Tsaqif. Sedangkan di dalam toko sudah banyak orang mengantri untuk membayar barang belanjaan mereka, ada yang membeli baju, seragam, jilbab, bahkan banyak dari mereka adalah para siswi yang ingin membeli pernak-pernik seperti bros, bando, atau sejenis ikat rambut.

Aisya memilih duduk di teras toko sambil melihat kesibukan para pelajar yang kebanyakan dari mereka adalah para santri dari pondok yang berbeda-beda, mereka semua terlihat bahagia karena memang jam pelajaran sudah usai, mereka bawa tas mereka masing-masing dan sesekali melambai kepada teman-teman yang mereka kenal.

"Aisya, nggak ke dalam sekalian? Udah mulai sepi kok, itu Atika masih milih-milih jilbab," ucap Irma.

"Enggak, mbak. Aku mau di sini aja, seru banget lihat pemandangan jalan." Aisya tersenyum.

"Oh ya udah, aku lanjutin di dalam ya."

"Oke, mbak, semangat kerjanya!"

Irma tersenyum, kebiasaan Aisya selalu menularkan semangat kepadanya setiap berkunjung ke toko Bunda Salma.

Aisya kembali fokus melihat lalu lalang orang di depannya. Netranya fokus kepada seorang wanita memakai abaya dan khimar serba hitam dengan cadar yang melekat di wajahnya. Wanita itu menghampirinya.

"Assalamu'alaikum," salamnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aisya. Ia menerima uluran tangan wanita itu dengan bingung.

"Aisya apa kabar?"

"Alhamdulillah sehat, maaf, siapa ya?"

Mata wanita itu menyipit, menandakan ia tersenyum dari balik cadarnya.

"Beberapa hari yang lalu aku cari kamu di pondok, ternyata tidak ada," ucap wanita itu.

"Maksudnya dimana?" Aisya masih setia dengan kebingungannya, siapa wanita ini, batinnya.

Kemudian tidak lama ia melihat seorang lelaki berkoko hitam dan sarung putih menghampirinya juga, dengan membawa sebuah kotak. Ia seperti mengenali lelaki itu, tapi siapa. Sepersekian detik ia baru ingat, "Gus Ilham?"

Lelaki yang kini di depannya langsung mengangguk seraya tersenyum, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Aisya.

Lalu wanita bercadar itu menautkan tangannya pada Ilham, "kamu masih tidak mengenalku?" Kata wanita itu lagi pada Aisya.

"Ning, beritahu saja, kasihan dia masih bingung," sahut lelaki itu dengan iba.

Aisya terpaku, sebutan itu, mungkinkah?
"Ning Nayla?" Sergahnya.

"Alhamdulillah, berarti kamu masih mengenalku." Matanya menyipit lagi.

Aisya terperangah tak percaya dengan pemandangan mengejutkan di depannya, "maa syaa Allah, ning."
Ia tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Udah, jangan gitu. Aku mau ngasih ini ke kamu dari dulu," Nayla memberikan ke Aisya sebuah kotak yang tadinya dibawa Ilham.

"Apa ini, ning?"

"Tanda makasih aku buat kamu, terima ya, nggak baik lho nolak hadiah."

"Tapi, saya kan ndak ngapa-ngapain, ning. Terimakasih untuk apa?"

"Ya, makasih kamu sudah banyak sekali membantu aku."

Aisya ragu-ragu menerimanya, pantaskah ia menerima itu, namun apa boleh buat, tidak baik jika ia menolak pemberian seseorang, apalagi Nayla adalah ningnya.

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang