part 25

19 4 0
                                    

Di sepertiga malam yang hening itu, Ayla kembali menenggelamkan jiwa dan raganya untuk mengadu dan berdo'a kepada Sang Pencipta.

Tak henti-hentinya ia memohon kesembuhan untuk sang ayah. Selama ini ayahnya masih belum memperlihatkan perkembangan yang pesat.

Ia memulai bacaan dzikirnya, ditemani oleh tasbih digital yang selalu setia menemaninya itu. Setiap sujudnya juga ditemani oleh sajadah indah pemberian Arzan, bukan tanpa alasan, namun tak bisa ia pungkiri bahwa perasaannya sudah terpaku pada Arzan. Malam demi malam ia berdo'a pula untuk keberhasilan orang istimewa di hatinya.

Arzan, nama yang sekarang sudah menghiasi hati Ayla, nama yang selalu membuat jantungnya berdetak tak menentu, dan nama itulah yang juga selalu ia sebut di setiap sepertiga malam. Berharap kisahnya akan berakhir semanis kisah Fatimah dan Ali.

Hari ini terhitung empat bulan setelah ia meninggalkan pesantrennya untuk merawat ayah dan membantu keluarganya. Ia mulai merintis usaha sendiri dengan menjual berbagai macam kue, kebetulan ia juga telah dibantu keluarga Bagas untuk mendirikan toko sendiri di depan rumahnya.

Rutinitas setiap selesai sholat malam, ia mulai membuat kue dengan ibunya. Jika waktu subuh tiba, mereka bergantian untuk melaksanakan sholat dan membantu Pak Salman menunaikan kewajibannya.

Suara ayam berkokok sudah terdengar, dengan burung-burung yang tampak bahagia menyambut pagi ini. Ayla menata kue-kue itu dengan rapi di dalam lemari kaca yang disediakan.

"Assalamu'alaikum, pesenanku udah selesai?" Bagas masuk ke dalam toko.

"Wa'alaikumussalam, tentu saja sudah, kak," jawab Ayla bersemangat.

"Eh Bagas sudah datang, pesanan kamu sudah disiapkan Ayla di ruang tamu," sahut ibu yang baru saja datang dari ruang tamu dan membawa satu nampan penuh kue coklat.

"Oh, tak ambil ya, bulik," Bagas berjalan menuju tempat yang dimaksud Bu Salwa.

"Nduk, kue yang kemarin tinggal berapa biji?"

"Tinggal 5 biji aja bu, Ayla bungkus ya?"

"Iya, jangan lupa nanti ditambah dengan kue yang baru, lalu dititipkan Bagas biar langsung dibawa ke panti."

"Inggih, bu."

Sudah kebiasaan mereka untuk bersedekah kue ke panti asuhan di dekat tempat Bagas bekerja. Meskipun keluarga Ayla tidak banyak harta, namun yang mereka pentingkan adalah keberkahannya. Dan dengan perantara bersedekah terutama kepada anak yatim, mereka berharap Allah akan memudahkan setiap urusan mereka.

Seorang pemuda melihat banner yang terpasang di depan toko bertuliskan "Adila Bakery", lalu ia memutuskan untuk berhenti dan memarkir motornya, "Assalamu'alaikum, bu, saya mau melihat kue disini," ucap pemuda itu.

"Oh iya, silahkan dilihat dulu," jawab Bu Salwa sambil memperlihatkan bermacam-macam kue di dalam etalase.
Pemuda itu masih menimang-nimang pilihan kuenya.

Bu Salwa menghampiri Ayla yang masih membersihkan kursi yang berlawanan arah dengan pelanggan.

"Kamu layani dulu ya, ibu mau ke belakang sebentar," ucap Bu Salwa lirih.

Ayla mengangguk dan mendekati pelanggan.

"Jadi pilih yang mana, mas?" Tanyanya sopan.

Pemuda itu menunjuk ke kue coklat yang dipilihnya, "ini, mbak," ia menengok ke Ayla.
Pemuda itu tertegun, "kamu... Ayla? Ayla Adila Nisa, bukan?"

Ayla terkejut karena pemuda itu mengenalinya, ia berpikir sejenak, "ooo iya aku ingat, kamu Danu? Sang juara kelas dulu?" Matanya berbinar.

"Iya, benar. Wuah gimana kabarnya, Ay?"

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang