part 42

19 3 2
                                    

"Assalamu'alaikum, mamii!" Teriak Zahra dari luar kamar.

"Wa'alaikumussalam," jawab Atika.

"Mamii!! Bukain Zahra dong... Tangan Zahra penuh."

Ceklek!
Pintu kamar telah dibuka oleh Aisya.

"Mbak Aisya, mami mana?"

Aisya yang sempat kaget akan keberadaan seorang pria di samping Zahra hanya bisa mengisyaratkan keberadaan Atika dengan tangannya.

"Mbak Atika, Zahra nyariin nih!" Teriak Aisya.

"Ada apa sih? Tumben banget," mau tidak mau Atika beranjak dari duduknya, mendekati Aisya.

Tampak di luar pintu Zahra menyengir lebar, lalu di sampingnya ada Adzin yang tersenyum ke arah Atika.

Atika terkejut, manik matanya ia alihkan ke Zahra, "kamu dari mana?"

"Dari sekolah, mi."

"Kok bisa barengan sama Mas Adzin?"

"Tadi katanya dia pingin aja jemput aku di sekolah, mi. Akhirnya kita bareng deh sampe sini."

"Emmm, saya mau bicara sama Mbak Atika boleh?" Sahut Adzin tanpa basa basi.

Atika terdiam, berpikir sejenak. Masih sedikit ragu dengan keberadaan Adzin sejak kedatangannya ke rumah Atika. Menurutnya Adzin adalah orang yang blak-blakan, jika ia tidak salah menduga, pasti ia akan membicarakan tentang kelanjutan hubungannya. Dan jika ia bicara di depan Zahra, bukan tak mungkin berita ini akan cepat tersebar di pesantren, ia tidak mau semua itu terjadi, ia masih ingin memantapkan hatinya saat ini.

"Emm, kita bicara di aula saja." Atika menggandeng Aisya.

"Mbak?" Aisya yang tidak tau apa-apa keheranan.

"Ikut ya! Biar tidak ada fitnah," jelas Atika.

Aisya mengangguk. Sedangkan Adzin membuntuti mereka dari belakang.

"Sya, aku minta jika kamu sudah mendengar ini, berati semua ini hanya di antara kita dengan Allah, oke?"

"Iya, in syaa Allah mbak." Aisya semakin penasaran dengan apa yang terjadi, tapi ia tak mau bertanya banyak, karena Atika sedang terlihat serius.

"Jadi begini, saya sudah yakin dengan Mbak Atika. Saya juga sudah menjalankan sholat istikhoroh untuk ini. Bagaimana dengan Mbak Atika sendiri?"

"Jadi Mas Adzin, saya sangat menghargai keseriusan kamu, saya juga sudah bertekad untuk mematuhi perintah orang tua saya. Saya harap pilihan saya untuk menyetujuinya bisa membuat hati saya terbuka."

"Maaf?" Tanya Adzin tak mengerti.

"Seperti yang saya nyatakan kemarin, saya telah menerima pinangan Mas Adzin, namun jujur hati saya masih belum mau terbuka untuk siapapun."

"Kalau boleh tau, apa di hati Mbak Atika masih tersimpan seorang laki-laki?"

"Tidak, bahkan saya sudah membuang nama itu."

"Lalu?"

"Mas Adzin, saya juga nggak tau kenapa saya begini, yang jelas, sejujurnya hati saya masih menolak siapapun, termasuk Mas Adzin."

Ucapan tegas dari Atika begitu menusuk jantung pria di hadapannya. Adzin menelan salivanya, dadanya terasa sakit, namun ia sudah bertekad, dan tidak akan menyerah dengan halangan apapun, kecuali jika Allah yang menghendaki.

Adzin tersenyum miris.
"Mbak Atika, mungkin suatu kemungkinan buruk bisa terjadi. Namun saya yakin, Allah adalah maha membolak-balikkan hati. Bahkan dengan mudah, semoga jika kita memang ditakdirkan bersama, Allah akan membukakan hati Mbak Atika untuk saya."

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang