part 9

23 3 0
                                    

"Astaghfirullah!" Amir terkejut ketika ia mendapati seorang gadis yang telah menarik lengan busananya.

"Ya Allah!" Aisya langsung melepaskan tarikannya, sadar bahwa yang ia tarik ternyata lebih menyeramkan dari yang ia bayangkan, Amir tentu saja. Bukan seram karena penampakannya, melainkan seramnya detak jantung Aisya saat ini.

"Maaf," ucap Aisya singkat seraya berlari menuju kamarnya, membenamkan tubuhnya di atas tumpukan bantal. Sungguh rasa malunya melebihi gugupnya bertemu Amir. Ia merutuki tingkahnya, selalu saja ia ceroboh.

Amir beristighfar pelan sambil mengelus dadanya. Sebenarnya tadi ketika gelap ia juga merasa aneh, baru saja ia akan membuka suara tiba-tiba listrik sudah menyala. Ia menghembuskan nafas pelan, menetralkan detak jantungnya saat ini. Memang kejadian itu berhasil mengagetkannya, tapi rasanya sangat lucu jika melihat raut wajah Aisya tadi, tak terasa lengkungan kecil terukir di bibirnya.

***

Ayla, Alif, dan Arzan mengikuti langkah Ustadz Tsaqif dan Bunda mencari perlengkapan untuk acara milad pesantren.

Toko yang dipilih memang sangat besar, berbagai macam alat dan hiasan terpampang di kanan kiri mereka. Banyak pilihan warna terjajar rapi di rak maupun di dinding-dinding toko tersebut. Tempat yang bersih dan rapi serta lampu yang terang membuat setiap pengunjung yang masuk ke dalam toko tersebut merasa sangat nyaman.

"Ayla, Arzan, Alif, kalian cari perlengkapan di sana dulu. Saya sama bunda nganterin Hikam dulu beli es krim," ucap Ustadz Tsaqif sambil menggendong Hikam.

Tanpa basa basi mereka segera mencari perlengkapan yang diperlukan.

Ayla menemukan lampu hias yang ia butuhkan, tapi tubuhnya yang tak terlalu tinggi membuatnya kesulitan mengambil lampu yang letaknya di lemari bagian atas itu.

Tak lama, Ayla menemukan seorang lelaki berdiri di sampingnya, mengambil lampu hias yang Ayla inginkan. Spontan Ayla bergeser karena menyadari posisinya terlalu dekat dengan pemuda itu.

"Kamu mau ambil ini, 'kan?" kata pemuda itu seraya menyerahkan lampu hias ke Ayla.

"Iya, makasih Kak Bagas." Senyum Ayla mengembang seketika.

"Kesini sendiri?"

"Nggak kok kak, tadi sama Ustadz sama temen-temen juga."

"Oooh.." Bagas adalah kakak sepupu Ayla, dulu mereka sangat dekat, namun karena Ayla sekarang berada di pesantren, ia jadi lebih mengerti batasan yang bukan mahram.

"Kakak kesini sama siapa?"

"Sendirian aja."

"Serius sendiri? Biasanya sama pakde, emang cari apa sih?"

"Cuma pingin jalan-jalan aja, oiya, kebetulan banget kita ketemu disini, ini ada titipan dari ayah." Bagas menyodorkan sebuah amplop yang ia simpan di dalam tasnya.

"Dari pakde? Apa ini?"

"Biasa, buat beli-beli kebutuhan kamu."

"Selalu aja deh pakde gitu."

"Nggak papa, kamu kan keponakan terdekatnya ayah."

"Tolong sampein terimakasihku ya, Kak."

"Beres."

'Siapa lelaki itu?' batin Arzan yang sedari tadi memperhatikan Ayla dan Bagas dari jauh. Sudah pasti suara mereka berdua tak terdengar dari tempat Arzan berdiri, ditambah lagi suasana toko yang sangat ramai, yang terlihat hanyalah senyuman dari keduanya yang membuat Arzan jadi semakin penasaran dengan hubungan antara Ayla dan lelaki itu.

***

Para santri sudah siap dengan bagian-bagiannya, Dimas sebagai pembaca qiro'ah, Aisya dan Atika sebagai pembawa acara.

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang