Seorang pria paruh baya turun dari mobilnya dengan sang sopir setia. Dengan setelan pakaiannya yang rapi dan celana panjang berwarna coklat senada dengan batiknya, ia berhenti di taman depan rumah megah bertingkat dengan air mancur di hadapannya.
Ia menatap rumah itu dari tempatnya berdiri, persis seperti setahun yang lalu saat ia pergi untuk mengurus bisnisnya di Yogyakarta, tak ada yang berubah. Mungkin hanya cat tembok dan pagarnya yang berubah menjadi lebih cerah.
"Assalamu'alaikum!" Salamnya setelah membuka pintu rumah.
Ia naik ke lantai dua untuk memastikan keberadaan anak semata wayangnya.
"Assalamu'alaikum!" Ulangnya ketika sampai di tempat tujuan.
"Wa'alaikumussalam!" seorang pemuda tampak buru-buru keluar dari kamar ketika melihat pria paruh baya itu datang.
Pria itu tersenyum sambil menerima uluran tangan putranya.
"Bagaimana kabarmu, Zan?" Tanya sang ayah.
Shehzan Adzin Zahid, nama lengkap Adzin yang kerap kali dipanggil ayahnya dengan nama Shehzan.
Seperti panggilannya kepada Adzin, ia tumbuh menjadi pemuda yang tampan, bahkan tak jarang para pemudi menginginkan dia untuk menjadi pendamping mereka."Alhamdulillah, pa, sehat. Papa sendiri gimana kabarnya?"
"Seperti yang kamu lihat," Pak Niko tersenyum sambil mendekap putranya yang lebih tinggi daripadanya.
Adzin bersyukur mempunyai ayah yang sangat menyayanginya, apalagi sepeninggal ibunya lima tahun yang lalu, hanya ayahnya yang bisa ia ajak bicara dan berbagi suka duka.
"Papa pasti lelah, sekarang ayo ke bawah, Shehzan sudah masakin makanan spesial," ajak Adzin sumringah.
Setelah menyiapkan semuanya, Adzin langsung menyuguhkan satu piring nasi goreng telur kepada ayahnya. Spesial? Tentu saja, menurut mereka yang membuat spesial bukan menu hidangannya, namun siapa yang memasak untuknya.
Pak Niko menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya, "emm, sama enaknya seperti dulu."
Adzin tersenyum lebar, pandai sekali papanya memuji.
"Shehzan, putraku. Papa senang kamu bisa hidup mandiri selama papa ke Yogya. Tapi papa punya pertanyaan, jawab dengan jujur, selama papa ke luar kota, kamu pernah balapan, kan?"
Adzin terkejut dengan pertanyaan papanya.
"Papa kenapa tanya begitu?"
"Kalau papa bertanya, maka harus kamu jawab, bukan malah balas bertanya lagi, jawab!"
Dan satu fakta yang tak boleh dilupakan, Pak Niko adalah orang yang tegas dan menjunjung tinggi akhlak yang mulia, ia tidak suka jika keluarganya sampai melakukan perbuatan yang keluar dari tata krama.
"I-iya, pa. Tapi darimana papa tau?" Jawab Adzin dengan gugup, situasi mulai memanas.
"Dari mana saja papa akan tau gerak gerik kamu! Bukankah papa sudah bilang, jangan pernah mengganggu orang lain? Kamu melakukan balapan seperti itu, bising, berisik, mengganggu orang di sekitar kamu. Apalagi, papa paling tidak suka perbuatan urakan seperti itu!"
Adzin menunduk dalam, ia tau ia telah berbuat salah, dan beruntungnya ia sekarang sudah mulai berubah dan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruknya.
"Papa membawa kamu ke pesantren agar kamu bisa jadi pribadi yang berbudi baik, bertingkah baik, bertakwa kepada Allah. Keluar pesantren, papa tinggal, kamu malah menjadi seperti ini!" Habislah Adzin siang ini dengan teguran ayahnya.
"Pa, iya pa, Shehzan ngaku salah, maafin Shehzan, pa. Tapi Shehzan sudah berubah, pa. Coba tanya ke mata-mata papa itu, dulu memang pernah balapan, tapi sekarang Shehzan bertekad untuk merubah kebiasaan burukku menjadi baik," Adzin menjelaskan kepada ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa Triple A
RomanceAisya, Atika, Ayla. Tiga wanita cantik dengan kisah-kisah mereka yang berwarna bermula di pesantren. Aisya "Aku tak mau berharap terlalu tinggi untuk mendapatkanmu, kita bagai bumi dan langit yang sulit menyatu." Atika "Di saat hatiku belum siap men...