part 43

10 3 0
                                    

Malam yang hening, bintang masih bertebaran di langit yang gelap, namun masih ada penerangan di dalam kamar putri pesantren Manarul Huda. Hanya ada suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi, Atika baru saja ke kamar mandi untuk berwudhu. Sudah beberapa minggu ini Aisya dan Atika berusaha istiqomahkan untuk sholat malam, sekalipun hanya dua rokaat.

Aisya beristighfar pelan, lalu melantunkan sholawat dan dzikir sampai waktu qiro'ah terdengar dari Masjid. Lalu ia merapalkan do'a yang biasa ia panjatkan di sepertiga malam seperti ini, bersamaan dengan Atika.

Dua gadis itu larut dalam curhatan mereka kepada sang Pencipta. Namun sepertinya mereka dalam dua keadaan yang berbeda.

Aisya masih setia dengan meminta ketercapaian cita-citanya. Bermimpi menjadi hafidzah dan seorang penulis terasa sangat berat, namun ia tidak menyerah, masih ada waktu untuk berusaha dan mencoba. Namun kini ia juga terusik dengan satu nama yang selalu muncul di sela-sela do'a, memberikan semburat bahagia ketika mengingatnya. Ia menatap mukena birunya lalu tersenyum. 'Bolehkah aku berharap lebih?' Batinnya. Kembali ia mengusap pipinya yang mulai memanas, lalu menatap Atika yang duduk di sebelahnya.

Tangannya menengadah, matanya terpejam, namun Aisya tahu, Atika mencurahkan isi hatinya, semua kebimbangannya, dan semua keluh kesahnya. Inilah waktu yang terbaik yang ia punya untuk meminta segala harapan dan takdir yang terbaik dari Allah. Berdo'a untuk meneguhkan segala keputusan yang ia buat, dan melunakkan hatinya.

"Aamiin ya robbal 'alamin," ucap Atika lirih. Setelah membuka mata, tak sengaja pandangannya bersitatap dengan pandangan Aisya. Aisya yang sudah paham masalah dari Atika tersenyum dan memeluk sahabatnya itu, ia memang belum pernah berada di posisi Atika, namun ia paham bahwa sahabatnya ini membutuhkan sentuhan perhatian dan semangat. Aisya yakin, badai pasti akan berlalu, cobaan ini justru akan menguatkan diri Atika dan menyisakan ruang bahagia yang seluas-luasnya.

***

"Ustadzah!" Seorang santri putri tergopoh-gopoh menghampiri Aisya yang sedang berjalan ke aula.

"Iya, ada apa?" Tanya Aisya.

"Em, maaf ustadzah, saya boleh minta tolong?"

"Boleh. Kalau saya bisa in syaa Allah saya bantu."

"Begini ustadzah, saya ndak bisa masang gas."

Aisya yang sedari tadi mendengarkan dengan serius langsung tersenyum dan menahan tawa.
"Oalah, saya kira apa, ayo!"

Mereka berjalan menuju dapur ndalem. Tepat di depan pintu, Aisya mendapati seorang gadis mencoba membuka tutup tabung gas. Aisya menghampirinya, "bisa?"

Melihat kedatangan Aisya, gadis itu berdiri dan tersenyum kikuk, "belum bisa, ustadzah."

"Oke, sini pinjam pisaunya," ucap Aisya  sambil berjongkok di depan tabung gas.

Ia terlihat konsentrasi memasang dan mencoba menyalakan kompor.

"Kamu kenapa manggil Ustadzah Aisya? Sungkan."

"Lha wong ndak ada siapa-siapa di luar selain Ustadzah Aisya, aku juga sungkan, tapi mau gimana lagi."

Aisya tersenyum mendengar bisik di belakangnya.
"Ndak papa, selagi bisa pasti saya bantu. Oiyaa, tumben cuma berdua biasanya ada lima atau enam orang."

"Tadi pas masak kebetulan ada beberapa bahan yang habis, ustadzah. Jadi yang lain belanja, yang lain masih mengambil sesuatu di kamar."

"Inggih, ustadzah. Semua masakan hampir matang, tiba-tiba gasnya habis, terus kita diutus Bu Nyai menyiapkan air hangat untuk dibawa di mobil."

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang