part 27

18 4 0
                                    

Aisya membenarkan pasminanya dan melihat pantulan bayangan wajahnya di cermin. Mengingat tragedi malam pertunangan Nayla yang tak akan ia lupakan. Ia sadar mungkin rasa ini harus segera ia hapus, bagaimana bisa ia menaruh harap kepada seorang gus? Aisya tak bisa seberani itu menaruh perasaan, karena ia tau terlalu tingginya harapan itu.

Begitu banyak yang lebih baik darinya, lebih dewasa, lebih cantik, lebih unggul ilmu agamanya. Sedangkan Aisya? Mungkin hanya segenggam air di lautan.

"Hufftt... semangat, Aisya. Sebisa mungkin jangan menaruh harapan terlalu tinggi, karena kecewa itu pasti sakit," ia menghembuskan nafas, menenangkan diri.

Masih di depan cermin, ia menepuk pelan pipinya lalu tersenyum bermaksud menyemangati diri sendiri.

"Mbak Atika, aku berangkat dulu ya," ucap Aisya lalu mengambil tas dan bersalaman dengan Atika.

"Iya, hati-hati, mukanya kayak nggak semangat gitu sih." Jawab Atika.

Aisya membalas dengan senyuman dan mengucap salam.

Sepanjang perjalanan ia merenung sembari menatap jalanan yang ia lewati, 'Ya Allah, bisakah aku memutarbalikkan waktu? Seharusnya aku sadar rasa itu tak boleh aku labuhkan ke Gus Amir,' batinnya masih tak terima.

Beberapa menit tak terasa angkotnya sudah sampai di Pesantren As-Salam. Hari ini sungguh berbeda, kakinya seperti sangat berat untuk memasuki gerbang pesantren. Ia menghela nafas lalu menguatkan diri masuk area pesantren.

"Bismillaahirrohmaanirrohim," ucapnya lirih.

Ia menyusuri halaman dan lurus melewati taman, seketika hatinya ngilu mengingat lokasi yang memilukan hatinya malam itu. Cepat-cepat ia berjalan nenuju aula untuk melanjutkan aktifitasnya.

Dari kejauhan ia melihat Hanin sedang mengawasi para santri. Ia tersenyum, setidaknya ia memiliki teman-teman yang tidak ada campur tangan kejadian malam itu.

Ia memanggilnya bermaksud bergabung dan melupakan masalahnya, "Ustadzah Hanin!" Teriaknya.
Namun suara itu bukan hanya suara Aisya, ia juga mendengar suara bariton milik seseorang yang juga memanggil Hanin.

Tunggu, ia mengenal suara itu, Aisya menghentikan langkahnya padahal keberadaannya sudah dekat dengan Hanin. Ternyata dugaannya benar, Amir juga baru saja memanggil Hanin ketika Aisya juga memanggilnya.

Hanin yang tadinya menghadap Aisya, membalikkan tubuhnya untuk merespon panggilan Amir, "inggih, gus?" Tanya Hanin.

Amir terdiam sesaat ketika melihat keberadaan Aisya di belakang Hanin. Tanpa pikir panjang Aisya segera berbalik arah, mencari jalan lain menuju aula pesantren.

"Aisya!" Panggil Amir. Ia berusaha mengejar Aisya setelah menangkupkan tangan kepada Hanin.

Sedangkan Hanin yang tidak tau menau hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan melongo menatap kepergian dua insan itu.

"Aisya!" Amir berlari kecil mengejar Aisya. Namun Aisya dengan gerak gesitnya langsung masuk ke aula dan bergabung dengan para santri.

Amir yang memahami perubahan sikap Aisya hanya bisa pasrah, ia mengambil ponsel dalam saku kemejanya dan mengetikkan sesuatu di nomor Aisya.

Aisya merasakan ada yang bergetar dalam tasnya. Ia mengambil ponsel dan benar saja Amir mengirimkan pesan.

Sebelum pulang nanti, tolong temuilah Ning Nayla dulu. Ini tidak ada hubungannya dengan urusan pribadi kita.

Inggih, gus.

Jawabnya singkat. Urusan pribadi katanya? Ia tak terima dengan kata-kata itu, seakan menolak kenyataan bahwa ia memang memiliki urusan pribadi dengan Amir, tepatnya urusan tentang hati.

Asa Triple ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang