Jangan lupa vote sebelum baca🖤
.
.
.Ternyata benar, yang sakit itu bukan putus cinta. Tapi, putus ketika masih cinta. Memang pada dasarnya manusia kehilangan dahulu baru menyesal.
Olive menarik napas dalam, Olive betul-betul tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain memikirkan dirinya sendiri. Dia sudah duduk di depan kaca lebih dari dua jam, mengharap kehadiran laki-laki itu di depan pintu seperti biasanya. Namun, yang dia dapatkan hanyalah keheningan semata. Jam sudah menunjukan pukul sembilan sebelas malam, biasanya Sandy, Arga, Bayu dan Galang duduk di depan kos bersama-sama.
Perempuan berambut panjang itu menggeleng, mengusap gusar wajahnya sendiri. Olive berdiri, menyisir singkat rambutnya dengan jari. Dia tidak mungkin ke depan hanya untuk bertemu dengan Sandy, apalagi jika banyak orang.
Namun entah keberanian dari mana, Olive kini sudah membuka pintu lalu menoleh melihat sekelilingnya yang sudah sangat sepi. Pandangannya jatuh ke arah pintu kamar Adiba, setelah perpisahan itu terjadi di hari itu, Olive juga melihat Sandy keluar dari kamar perempuan itu. Lagi-lagi Olive merasakan sakit di dadanya, napasnya tercekat menahan tangis yang ia sembunyikan.
Olive melangkah, ia memainkan jari-jari lentiknya sambil sesekali menggigit bibir bawah. Olive merasa detak jantungnya berdetak lebih cepat, ia tidak bisa menyembunyikan gugupnya ketika dia sudah berdiri di balik pagar kos. Sekali lagi Olive mengembuskan napas panjang, ia melangkah dua kali sehingga kini ia tepat berada di luar.
Perasaannya bercampur aduk, ini bukan pilihan yang terpaksa. Olive memang ingin bertemu dengan Sandy. Ziva benar, Sandy tidak ada urusan apa pun tentang kegaduhan hatinya, laki-laki itu sudah selesai. Ini semua cukup Olive yang menanggungnya, Olive juga yang meminta perpisahan itu kepada Sandy.
Olive mengerjap pelan. Napasnya tiba-tiba saja seperti tertahan di dada, sulit rasanya untuk melangkahkan kakinya untuk mendekati laki-laki yang duduk sendirian itu. Sandy berjongkok, ia menunduk dan mengukir tanah dengan rating kayu di tangannya, tak lupa seperti biasa rokok yang ada di jepitan jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Sendiri?"
Sandy mendongak, dengan cepat ia menghapus ukiran yang ada di tanah itu dengan kakinya. Padahal, Olive belum sempat baca apa yang laki-laki itu tulis. Sandy tersenyum, ia menarik pelan Olive untuk ikut berjongkok bersamanya di sana. Perempuan berambut sebahu itu kini berada di sampingnya, tatapannya saling bertemu dengan senyuman tipis di masing-masing bibirnya.
Sandy mengusap pelan cincin yang ada di jari tengah Olive. Setelah menatap cincin itu beberapa detik, Sandy mengalihkan pandangannya ke mata Olive.
"Aku kira kamu udah enggak mau pakai cincin ini lagi."
Tangan perempuan itu masih ada dalam genggaman tangan Sandy. Olive merasa dirinya sedikit lebih tenang, dia sudah tidak lagi berfikir keras bagaimana caranya untuk bertemu dengan Sandy.
"Kasih aku satu alasan, kenapa bisa aku enggak mau pakai cincin dari kamu lagi?" tanya Olive dengan pelan.
"Karena kita udah enggak ada hubungan apa-apa."
Olive tersenyum getir, ia menarik pelan tangannya dari genggaman Sandy. "Kamu bener," lirihnya.
Kehening menyelimuti Sandy dan Olive. Laki-laki itu menggeser tubuhnya untuk menghadap sepenuhnya ke arah Olive, tangannya terangkat menangkup kedua pipi perempuan itu. Dengan lembut ibu jarinya mengusap pipi perempuan itu sehingga beberapa kali ia mengusap ujung bibir mungil Olive.
Detak jantung Olive berdegup kencang, tatapan Sandy betul-betul membuat hatinya terenyuh sekarang. Angin malam membuat beberapa anak rambut Olive menutupi wajahnya, namun dengan pelan Sandy menyingkirkan rambut yang mengganggu wajah cantik perempuan itu.
"Kita akan kembali sama-sama kalau emang semesta menakdirkan kita untuk kembali."
Olive terdiam. Dia tersenyum ketika melihat Sandy tersenyum juga, namun beberapa saat tangan Sandy pun terlepas dari pipinya. Keduanya saling berhadapan dengan tatapan yang tak lepas. "Kamu enggak bisa tidur?"
"Biasanya jam segini kamu udah tidur," lanjut Sandy. Dengan pelan Olive mengangguk. Sandy mengernyit, tiba-tiba saja wajah menyebalkannya membuat Olive mengernyit dan sedikit menjauhkan wajahnya sendiri. "Apaan, sih?" bisiknya pelan.
"Minta dipeluk lagi, ya?" Alis Sandy pun naik turun. "Aku tau wangi badan aku emang susah dilupain, makanya kamu enggak bisa tidur kalau enggak aku peluk sekarang."
Olive memukul pelan pundak Sandy, laki-laki itu tertawa pelan. Ia membasahi bibirnya dan kembali terdiam ketika Olive mengerjap dan memalingkan wajahnya.
"Kamu berani banget datengin aku di sini," ucap Sandy.
Perempuan itu terdiam. Olive tidak tahu harus mengatakan apa selain diam dan memaksa kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, jauh di lubuk hatinya memang ia merindukan Sandy sehingga ia berani keluar dan mendatangi Sandy yang duduk sendirian di sini. Olive masih bingung dengan dirinya sendiri.
Awalnya dia membenci laki-laki menyebalkan ini, dia tidak akan pernah mencintai atau bahkan menjadikan Sandy pacar pertamanya dalam hidup Olive. Namun, Olive hanya manusia biasa, dia juga manusia yang sama sepeti lainnya. Semesta punya takdir yang berbeda untuknya, terlebih tentang kehidupan Olive kelak.
Sandy pun terdiam. Dia memang menginginkan Olive, selalu mengintai semua gerak gerik yang perempuan itu lakukan. Dan dia tidak pernah berpikir sedikit pun untuk memberi seluruh rasa cintanya ke Olive, tapi setelah perempuan itu menerima cintanya, dia bercita-cita dengan seluruh kesadaran dirinya bahwa Sandy akan membahagiakan perempuan bernama Olive.
Itu dulu. Kini Sandy tidak tahu.
Tangan Sandy menyentuh pelan tangan Olive kembali dan melihat tangannya sendiri. "Tapi aku seneng, itu artinya kamu udah mulai suka sama aku."
Olive langsung menatap Sandy, tatapan yang tidak bisa Sandy tebak. Perempuan itu mengerjap pelan, mencoba untuk tersenyum walaupun suasana begitu canggung untuknya. Tangan Olive menggenggam pelan tangan Sandy, laki-laki itu terdiam ketika tangannya digenggam, Sandy melirik ke arah Olive sekejap. "Kenapa kita bisa pisah, ya?"
"Apa kamu ngerasa kita udah pisah?" balas tanya Olive pelan.
Sandy menggeleng. "Sampai kapan pun, kamu tetap ada di dekat aku. Mungkin ini cara tuhan pertemukan kita, walaupun kita hanya disatukan beberapa waktu aja."
"Aku sayang sama kamu," lanjut Sandy. "Kamu jaga diri kamu baik-baik kalau aku enggak ada di dekat kamu."
Olive mengernyit. "Kamu mau ke mana?"
"Enggak. Aku enggak ke mana-mana, cuma enggak mau kamu kenapa-napa nanti." Sandy terkekeh pelan sambil memainkan jari jemari lentik Olive. "Siapa tau aja ada yang lebih jahil dari aku kemarin, kan?"
Perempuan itu hanya tersenyum lebar menahan tawa. "Terus nanti dia godain kamu, eh, nasibnya nanti kayak aku. Jadi pacar kamu, tapi yang ke dua." Sandy menarik napas.
"Karena yang ke satu, tetap aku pemenangnya," lanjutnya.
"Apaan, sih," celetuk Olive terkekeh.
Melupakan sejenak status mereka. Olive merasa nyaman, dia kembali tertawa bersama dengan laki-laki yang ia rindukan tadi.
.
.
.
Vote dan komen jangan lupa, xixixi.
![](https://img.wattpad.com/cover/377097111-288-k335763.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
Romance[SELESAI] 18+ Sudah tidak heran dengan pergaulan bebas, kan? Sebenarnya aku sedikit syok, apalagi dengan lingkungan baru seperti ini. Ini juga aku lakukan karena terpaksa. Jika bukan karena mamaku yang sedang butuh uang untuk keperluan sehari-hari...