12/12

3.3K 147 8
                                        


Jeffrey pulang sore seperti biasa. Kali ini dia berniat langsung mandi karena makan malam belum siap. Bahkan Rena masih menggoreng ayam. Sedangkan Kevin tengah belajar di gazebo taman. Ditemani Joanna yang sedang berenang.

"Kevin di mana?"

"Sedang belajar di taman. Joanna sudah pulang. Kamu sudah tahu? Dia sedang berenang sekarang."

"Iya, tadi pagi sudah bilang." Jeffrey bergegas menuju taman. Dia masih memakai tas kerja. Karena berniat menyapa Joanna sebentar, sekaligus melihat Kevin juga. 

"Jangan sampai mati!" Jeffrey mendekati Joanna yang sedang berteriak pada Kevin. Anak SMP itu sedang membuat api. Sedangkan Joanna yang sudah memakai bathrobe mandi tengah duduk di ayunan sembari memainkan ponsel dengan senang hati. Karena barang belanjaannya akan tiba hari ini.

"Kalian sedang apa? Kevin, kamu tidak belajar?"

Joanna mulai menatap Jeffrey yang baru saja datang. Lalu menjauhkan ponsel dari wajah. Karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

"Banyak nyamuk di sini, jadi kusuruh dia membuat api. Dia juga sudah selesai belajar tadi."

"Kevin?" Jeffrey yang ragu akan ucapan Joanna mulai mendekati Kevin. Anak itu masih jongkok dan membakar kertas dan ranting. Atas suruhan Joanna pada setengah jam terakhir.

"Iya, Om. Aku sudah selesai belajar."

"Tuh, kan. Kamu takut aku bully dia?" Joanna memicingkan mata. Karena dia jelas merasa kecewa. Sebab Jeffrey meragukan ucapannya.

"Masuk sekarang! Bawa buku-bukumu juga. Om dan Tante ingin bicara."

"Iya, Om."

Kevin meninggalkan mereka setelah membawa buku-bukunya. Sedangkan Joanna mulai memainkan ayunan setelah memasukkan ponsel pada saku bathrobe.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Kamu sudah melakukan apa saja selama di Jakarta? Satu minggu, kamu lupa kalau hanya izin tiga hari?"

"Sorry, aku pikir kamu tidak peduli. Jadi aku lanjutkan saja sampai tujuh hari. Lagi pula tidak akan ada yang mencari."

"Aku memang tidak peduli. Tapi Mama yang khawatir! Dia menanyakan kamu setiap hari!"

Joanna tersenyum tipis. Lalu menghentikan ayunan dengan kaki. Karena ingin fokus menatap Jeffrey.

"Mama atau Rena? Hampir setiap hari aku dapat WA dari Mama. Dari Rena juga. Tapi hanya Mama saja yang aku balas. Dia yang menanyakan aku setiap hari, kan? Dia pasti khawatir aku macam-macam selama satu minggu ini di Jakarta."

Jeffrey salah tingkah karena baru saja tertangkap basah. Sebab selama satu minggu ini dia memang sudah merasa kesal. Akibat Rena yang terus bertanya tentang Joanna padanya. Padahal mereka saja tidak saling berkomunikasi selama satu minggu ke belakang. Kecuali saat Joanna sudah tiba di rumah dan menanyakan apa supir bisa mengantarnya nanti sore ke rumah Jessica. Untuk memberikan oleh-oleh pada si mertua.

"Hubunganku dengan Mama sangat baik. Bahkan lebih baik daripada dengan orang tuaku sendiri. Seharusnya kamu sudah tahu ini saat aku tanya apa supir available sore ini." Joanna bangkit dari duduknya. Berniat pergi dari sana. Karena perbincangan ini tidak penting juga baginya.

"Oh, iya. Minggu depan aku mau ke Bali. Kamu pasti senang karena bisa berduaan dengan Rena lebih lama lagi." Joanna menaikkan satu alis. Berniat mengejek pria ini. Karena dia memang suka sekali traveling. Selagi ada kesempatan seperti ini, tentu dia tidak akan pikir dua kali.

"Lagi? Kamu pikir aku kerja supaya kamu bisa foya-foya seperti ini? Di Jakarta kemarin kamu sudah habis seratus lebih! Belum lagi ke Bali!" Jeffrey mulai berkacak pinggang. Dia menatap Joanna kesal. Entah kenapa dia merasa demikian. Padahal uang 100 juta bisa didapat dalam seminggu saja. Karena memang dia sudah expert dalam bidang yang dikerjakan.

"Bills on temanku. Aku hanya perlu tiket pesawat untuk terbang ke sana. Aku bisa pakai uangku sendiri. Aku tidak akan foya-foya pakai uangmi kali ini. Tapi kartu tidak bisa kembali. Supaya aku bisa belanja meski harus pikir-pikir lagi, karena suamiku pelit!" Joanna bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Jeffrey yang tampak masih marah. Membuat Joanna mendengus kesal. Karena tidak menyangka jika Jeffrey akan perhitungan padanya. Padahal dia tahu penghasilan suaminya sebanyak apa.

"Sudah patriarki, pelit lagi! Apes sekali aku ini!"

Joanna bergidik ngeri. Dia bergegas masuk kamar dan mandi. Mengabaikan Rena yang sejak tadi sudah menguping dan kini tengah berjalan mendekati Jeffrey.

"Kamu serius Joanna habis sebanyak itu dalam satu minggu?" Pertanyaan Rena membuat Jeffrey terperanjat. Karena tidak menyangka jika wanita itu akan menguping pembicaraan.

"Bukan masalah besar. Aku hanya menggertak saja. Kalau tidak seperti itu dia bisa seenaknya. Kamu pasti dengar, kan? Minggu depan dia mau ke Bali. Kamu pasti akan semakin khawatir. Aku tidak bisa menahannya untuk tidak pergi, tapi paling tidak, aku bisa membuatnya tidak bisa lama-lama dan berlaku seenaknya karena limit pengeluarannya akan kubatasi."

Rena tampak sedih. Entah kenapa dia merasa tidak suka akan hal ini. Padahal seharusnya, dia merasa senang karena Jeffrey masih peduli akan perasaan cemasnya saat ini.

"Aku pikir dia tidak seperti itu."

"Ya, kan? Aku juga berpikir sama. Mama dan Papa semangat sekali saat mempromosikan dia. Joanna anak pertama, dia rajin, pintar dan sopan. Dia mandiri dan bisa mengatur segalanya. Pokoknya dia akan menjadi istri yang sempurna. Padahal tidak. Bangun saja sering siang. Rajin dari mana?"

"Kenapa kamu tidak bilang Mama? Kenapa kamu tidak ceritakan apa yang terjadi sebenarnya? Mama pasti akan mempertimbangkan—"

"Rena? Kamu bercanda? Mempertimbangkan apa? Untuk membatalkan pernikahan saja? Kamu tahu sendiri Mama dan Papa seperti apa. Hanya masalah seperti ini tidak akan membuat mereka murka. Apalagi kehidupan Mama juga tidak jauh berbeda."

Rena tampak muram. Dia sadar jika Jessica juga seperti Joanna. Dia tidak mencuci dan memasak. Sering bangun siang namun malamnya sudah menyiapkan keperluan anak-anak dan suaminya. Dia juga sering berbelanja dan mengoleksi banyak barang mahal di rumah. Sehingga kecil kemungkinan Joanna akan mendapat masalah jika diadukan.

"Kecuali kalau dia selingkuh. Mereka pasti akan membuat hidup Joanna hancur." Jeffrey menatap Rena. Karena itu yang mereka lakukan pada Rena. Membuangnya setelah si wanita merusak kepercayaan dan membuat kecewa. 

Rena yang sudah sudah 13 tahun hidup bergelimang harta harus memulai hidupnya di rumah bulan. Rumah yang menampung orang-orang terbuang. Lalu dibina agar bisa survive di dunia luar. Tidak heran jika Rena bisa seperti sekarang. Lebih matang dari sebelumnya dan membuat Jeffrey semakin suka.

Tbc…

GET TO KNOW BETTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang