Jika kau terjebak dalam 'cinta'. Maka kau tak akan bisa lepas. Tak ada hukum lagi dalam duniamu. Kau akan tergerak hanya untuk yang dicintai. Menjadi apa pun untuk yang tercinta. Sekalipun sang cinta sudah mati, suara-suara cinta tetap hidup dalam dirimu.
[Name] harap, ia tak menyentuh, ah, tidak, ia berharap seberharapnya untuk tak mengenal 'cinta'.
"Apakah kau mencintai ku?"
Kalimat ini keluar lagi dari mulutnya. Berbeda di hari-hari sebelumnya, kata yang ia berikan terasa hangat, seakan musim semi sedang berlangsung, bunga bermekaran di taman. Siapa pun yang mendengar pasti tau ia hanya ingin mendengar satu kalimat balasan.
Namun, hari ini kalimat yang keluar dari mulut [Name], terasa tandus. Seperti rumah kaca tanpa bunga. Sekalipun tau kalimat itu melukai dirinya, ia tetap mengatakannya dengan dada penuh rasa sakit akan besi panas yang menusuk jantung.
Ia tetap mengatakan hanya untuk mendengar satu kalimat balasan.
"Aku mencintai mu." Neuvillette membalas; satu kalimat yang ingin di dengar [Name]. Yang membuat [Name] merasa di cintai.
Neuvillette menjawab dengan jawaban yang sama seperti hari semalam dan lusa lalu. Tak ada rasa cinta, atau pedih. Kalimatnya terasa hambar hingga sulit ditelan.
Jika [Name] yang kemarin mendengar pasti senang meski tak ada balasan dari cintanya. Ia akan kegirangan hanya mendengar satu kalimat yang bahkan lebih pahit dari pare.
Seribu sayang, [Name] yang sekarang mendengarnya merasa sesak hingga lupa cara bernapas. Seakan jantung di remas. Ia tak mampu menahan bendungan air mata. Dia kehilangan tenaga untuk menopang tubuh. Ia retak bak kaca.
Lalu senyum diberi. Berharap air mata tak turun selama ia berbicara. "Kenapa kau masih berbohong?"
Neuvillette tak mengerti, tentang kalimat si wanita atau senyum yang bergores di bibir pucat itu. Kemana perginya senyum bak musim panas yang senang mendengar jawaban dari Neuvillette? Kemana perginya [Name] yang mencintainya?
"Aku sudah tau," Ah, ia harap dirinya tak menangis sekarang. "Ayo akhiri 9 tahun ini."
[✨]
Wriothesley tak tau harus bereaksi apa pada seorang wanita yang datang ke kediaman-nya di saat hujan bak badai turun.
Pertama, mari ajak masuk.
Wriothesley menyuruh [Name] mandi air hangat, memberikan pakaian ganti pada [Name], dan menyeduh teh yang cocok menemani malam berhujan dan menenangkan hati.
Wriothesley menyeruput teh, membiarkan cairan merah tua membasahi tenggorokan. Lalu, ia menunggu. Menunggung wanita di hadapannya membuka mulut menjelaskan ke datangan dan gundah hati. Sebagai teman Wriothesley siap mendengarkan resah gelisah.
"Aku akan cerai." Kata ini terlalu berat untuk memulai obrolan. Wriothesley tak mampu berkomentar. "9 tahun aku menikah dengannya, ku pikir dia mencintaiku. Ternyata hanya pesan terakhir dari Focalors."
Ah, ada cerita seperti itu, cerita bak dongeng penghantar tidur. Focalors dan [Name] yang bersahabat, menyukai orang yang sama. Karna tau akhir hidup lebih dulu datang, maka ia mundur. Meninggalkan pesan akhir untuk si sahabat agar sendirian di dunia keji ini.
Wriothesley sebagai orang luar yang tau cerita, sempat di bingungkan. Kenapa Neuvillette yang mencintai Focalors malah menikah dengan [Name]? Bahkan resepsi-nya tergolong cepat setelah berkabung.
"Bukannya kau mencintainya?"
"Aku sangat mencintainya, sangat-sangat mencintainya." Air mata jatuh menitik di telapak tangan, perlahan jadi seperti hujan di luar. "Tapi bukan begini caranya."
Semisalnya [Name] tau lebih cepat. Apakah ia bisa mengambil keputusan yang tepat? Akankah Focalors berterimakasih kembali? Bisakah ia membuat Neuvillette membalas cintanya? Akankah semua kembali pada tempatnya?
Sekalipun berandai, sekalipun waktu di mundur ulang. [Name] tetap bersalah. Rasa cintanya telah merebut kebahagiaan Neuvillette.
Harusnya ia tak jatuh cinta pada orang yang sama. Harusnya ia tak menelan 'cinta'. Seharusnya ia tak mengenal perasaan indah berduri ini.