Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*Maaf atas tersendatnya tulisan saya.. beberapa hari ini memang saya sangat sibuk,jadi baru skarang bisa update tulisan lagi.. semoga pembaca bisa makin greget yaa ama Nina,Astro,Kiki dan Hendrik. Arigatou,Kamsahamnida,Really thanks,makasihhh ^^*
Sialan,ponselku terlalu ribut untuk hari 'libur' ini. Libur? Bukan juga. Berkat parasit seperti Hendrik,aku harus menunggu keputusan para divisi kepolisian,kami berempat dipecat atau tidak.
Awalnya aku ingin abaikan bunyi ponselku,lagipula untuk apa Nina menelpon di hari 'libur' ini? Tapi... aku penasaran juga. Kuangkat kasar ponselku
"Apa?!" Seakan Nina mengganggu masa hibernasiku. Suara diujung telpon kacau. Membuatku harus mencari-cari apa yang dikatakan Nina.
"Kau keluar dulu! Jaringan disana kacau woi.." Kemudian aku tersadar,aku didalam kamarku,kamar yang paling sulit mendapatkan jaringan. Mungkin kesalahan Ada pada jaringan ponselku?
Aku keluar dari kamar turun dari tangga tepat di depan kamar,dan layaknya baru bangun dari pingsan satu tahun,pemandangan ribut ala ponakanku dengan mainan dimana-mana,dan suara didapur yang harmonisasi. Bunyi talenan dan bunyi panci yang mendidih lama skali aku tak mendengarnya selama aku jadi penembak jitu dan kini jadi polisi. Ibuku didapur,walaupun aku tak menengok kesana aku tau. Paling-paling adik perempuanku membantu disebelahnya.
Aku mengambil gelas yang ada di samping galon yang letaknya di ujung ruang makan. Aku minum seteguk mencoba sadar dari kantukku dan mengenyahkan suara parauku. Aku keluar ke teras yang penuh dengan bunga-bunga dan ada taman kecil juga ayunan. Pekerjaan Ibuku. Iya. Dia suka rumah yang asri. Berbanding terbalik denganku yang horor ini. Aku kadang kesal dengan Ibuku yang selalu membuang poster-poster juga pajangan horror yang dikamarku. Kemudian,ketika aku pulang kamarku terlalu bersih dan cantik. Aku berani bertaruh,kamarku jauh lebih rapih dari kamar Nina yang seorang wanita,notabenenya rapih.
Kuangkat telponku dengan tenang.
"Apa..?" Begitu suara Nina tersentuh kupingku,kini penjelasan Nina jelas. Kiki masuk kedalam restoran yang ada bomnya. Aku ternganga. Kenapa para partnerku tak ada yang beres? Belum selesai Hendrik,Kini Kiki juga yang luar biasa sotoy masuk ke resto itu?
Oke,aku tau. Kiki itu penjinak bom dulunya. Tapi bukan saatnya pamer. Bedebah-bedebah ini membuat kehidupanku susah saja.
Aku masuk cepat-cepat bak peluru yang keluar dari pistolonya,melesat secepat mungkin.
Sekonyong-konyong aku sudah memakai kemeja kotak-kotakku lengkap dengan jeans hitam panjang. Tak lupa jam tangan dan ransel. Kubuka pintuku..
"Hei..." Ibuku didepan kamarku mengagetkanku. Sepertinya dia ingin mengetuk pintu tapi keburu kubuka
"Mau kemana nak?" Tanya ibuku lembut.
"Ada.. urusan.... di kepolisian ibu. Aku harus pergi." Jelasku pelan-pelan. Aku tau ini akan mengecewakannya,karena baru melihat putra satu-satunya dirumah.
Ibuku menghela napas berat. "Tak bisakah kau disini saja? Ibu baru saja mau memanggilmu makan..." Sialan! Panggilan Nina memang lebih penting,tapi Kiki dan Nina membuatku jadi anak berdosa lagi dan lagi.
Terpikir saja,mungkin ini cuma candaan Kiki dan Nina supaya aku keluar dari sarangku. Awas saja jika cuma bercanda. Kubuat mereka menyesalinya.
"Ini,nyawa temanku bu. Jika aku Tak kesana,mungkin dia bisa mati. Mungkin juga tidak. Tapi setidaknya aku harus disana." Hening setelah kujelaskan. Ibuku tersenyum dan menyodorkan tangannya utntuk di salam olehku. Kusambut sambil tersenyum dan pergi darisana.
Aku masuk kedalam garasi motor dan mengeluarkan motor besarku,memakai helm,menyalakan motor dan pergi melewati pagar kemudian melaju kencang melewati kompleks rumahku. Pikiran kacau. Ibuku,Kiki dan Nina. Sialan kau Kiki,Awas saja kau tak selamat jika aku sampai kesana.