PART 41

652 40 1
                                        

Pak Ilyas,aku,Hendrik dan Kiki duduk melingkar di taman rumah sakit. Pak Ilyas tak peduli meski itu dirumah sakit,kami musti disidang. Lagipula,aku tak boleh kekantor karena smartphone terkutuk yang ada penyadapnya ini.

"Kalian mau pilih apa,jadi rekan atau saingan?" Pak Ilyas sungguh tak bisa ditebak. Apa niatannya bertanya begitu?

"Maksud bapak?" Hendrik bertanya bingung. Aku merasa hari ini Hendrik tak bodoh kecuali kemarin-kemarin. Karena akupun tak mengerti.

"Jawab saja. Kiki,kau anggap apa Astro?" Pak Ilyas menoleh tajam pada Kiki. Pak Ilyas salah bertanya. Pastinya ini akan memicu pertengkaran lagi.

Kiki hanya diam. Sudah kuduga,diamnya itu bisa menghasilkan perkataan pak Ilyas yang pastinya akan pedas.

"Kalau begitu,pecahkan siapa yang memukul kepala ibunya Nina. Yang berhasil,kuberi penghargaan" Tantangan pak Ilyas tak menarik sebenarnya. Aku tak suka kasus dijadikan permainan. Tapi mungkin lebih jengkel lagi pak Ilyas yang selalu melihat kami berkelahi.

"Pak kami bukan saingan,tolong cabut tantangan bapak" pintaku sopan.

"Lalu,aku harus melihat 'tayangan' tadi itu berapa kali lagi?" Tanya pak Ilyas sinis. Memang. Sejak kasus bom,lalu Rea hadir,kami tak pernah akur. Sebenarnya aku tak terlalu berniat pada Rea. Tapi sikap Kiki lah yang membuatku makin 'mengerjai" nya. Seakan-akan aku suka Rea.

"Saya setuju pak. Maka dibuktikan juga,siapa detektif terbaik disini dan yang mana yang amatiran." Kiki menyanggupi. Sialan. Kiki benar-benar hanya menganggapku saingan. Mungkin penghargaan-penghargaan yang kudapat. Plus,Rea. Aku tak pernah berpikir Rea suka padaku. Tapi aku benar-benar takut jika Nina tau bahwa kami menggunakan kasus ibunya sebagai "pertandingan" maka tak ada maaf lagi. Cukup sudah aku merahasiakan tentang kasus ini dan skarang menjadikannya taruhan?

"Saya tidak mau pak" Tegas aku mengatakannya. Meskipun aku tau apa yang brada dalam otak labil Kiki. Dia menganggap aku pengecut. Handphone mu berbunyi. Dari salah satu anak buah Harry.

***
Ruangan Harry masih sama tata letaknya waktu aku dan Nina pertama masuk disana. Ketika aku menatap Harry,tiba-tiba ada yang menjambak rambutku sangat keras Aku berbalik dan dia joe. Aku berhasil melepaskan diri. Baru saja kami memasang kuda-kuda,Harry yang balik belakang langsung berkata:
"Jika salah satu dari kalian mati,aku akan membunuh yang satunya. Siapapun dia." Kami berdua lamgsung menurunkan kuda-kuda kami.

Joe menatapku kesal. Tanpa bicarapun,dia sepertinya sudah memakiku habis-habisan dalam hati. Atau mendoakanku lekas mati. Tapi aku tak tau salahku apa. Apakah soal aku mendatangi Sukma.

Harry berbalik dan menatapku tajam

"Kau ini.. sebenarnya siapa?" Pertanyaan yang menyatakan kalau dia sudah curiga aku masih detektif.

Harry berjalan dengan gagahnya. Kharisma nya selalu bertebaran.

"Kau masih detektif kan? Beraninya... harusnya kau jangan tolol. Mengadakan rapat di siang bolong bersama tim mu!" Ejek Harry dengan tampang yang benar-benar kesal nya diubun-diubun kepala. Ah mereka tau? Dari mana? Harry meraih kerah bajuku dan Joe mengambil samurai di laci bufet lalu mengacungkannya dileherku.

"Jangan kau pikir kami bodoh nak." Ucapan Harry ini terasa panas bahkan seakan-akan terasa kupingku melepuh. Aku pasti mati disini. Aku tak pernah memang melihat Harry berkelahi,tapi aku pernah melihat sabuk hitam karate di ruang tengah. Walaupun aku silat,aku takkan menang kalo mereka berdua bersatu melawanku. Aku pasti mati.

I'm a daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang