"Pak... apa yang anda lakukan disini?" Pertanyaan tolol begitu saja keluar dari mulutku. Tentu saja makan. Tapi bukankah polisi diluar tak mengatakan ada Presiden? Ini luarbiasa gawat.
"Kau bisa menjinakkan bom?" Pertanyaan presiden santai namun penekanannya serius.
"Bisa pak."
"Diantara sini bisa ada pelayan yang menemaniku? Aku tidak tau seluk-beluk resto ini." Aku menghamparkan pandanganku pada para pelayan yang berdiri berkelompok cemas didepan kasir. Ada yang menangis dan ada yang berdoa. Seorang gadis berambut pendek,mungil,namun ayu berdiri diantara para pelayan dan mendatangiku. Wajahnya tenang daripada teman-temannya. Dia masih bisa memberiku senyuman.
"Mari.." ajaknya sambil berjalan mendahuluiku. Aku sempat terpana entah karena gadis ini manis atau karena dia wangi.
Sambil pamitan sepintas pada pak presiden,aku segera meraih ponselku dan menelpon Nina. Begitu Nina mengangkatnya,begitu dia meneriakiku."KENAPA KAU MENELPON?! KELUAR DARI SANA! SUDAH ADA PENJINAK BOM DISINI!! APA OTAKMU TIDAK BEKERJA MENEROBOS KESANA?!" Nina memang sangat kesal. Wajar. Karena sekarang pak Ilyas sedang rapat dengan para Divisi untuk menyelamatkan kami dari ancaman pemecatan. Nina tentu takut aku juga buat masalah. Cukup sudah Hendrik melakukan hal bodoh.
Sejenak aku tersentak dengan apa yang kulakukan. Agak kusesali,namun Nuril muncul seperti biasa dipelupuk mataku membuat aku tak peduli.
"Disini ada presiden. Tidak usah penjinak bomnya masuk,pelaku pasti memperhatikan kita dari jauh! Tolong tanyakan dimana bomnya pada polisi disana." Lama Nina menjawab pertanyaanku,malah suara lain yang menjawabnya. Suaranya familiar tapi aku lama berpikir untuk mengenalinya
"Halo kak Kiki. Bomnya ada di Kitchen 1"
Aku langsung memberi kode tanpa suara pada pelayan wanita yang bersamaku kalo bomnya di Kitchen 1. Gadis itu mengangguk dan berjalan diikuti olehku. Kemudian pria yang familiar suaranya itu bertanya
"Kakak sudah temukan?"
"Heh! Siapa ini?!" Aku tidak ingin basabasi. Lagipula itu tidak mungkin pak Ilyas atau siapapun yang harus kuhargai.
"Galih" jawabannya mengheningkanku,dan membuatku tersentak. Galih adalah saudara Nuril. Kenapa anak itu bisa disana?!
"Ngapain lo disana?!" Aku sedikit berteriak sampai pelayan wanita yang menemaniku berbalik menatapku.
"Aku penjinak bom kak." Jawaban menjengkelkan. Setauku anak itu kuliah dijurusan IT dulunya. Tapi aku tak pernah kepikiran anak itu bisa masuk tim penjinak bom.
Bahkan anak itu tak pernah sedikitpun mengutarakan keinginannya bergabung bersama kami. Dia sibuk saja belajar.
Aku dan gadis itu sampai disebuah ruangan yang kuyakini itulah Kitchen 1. Bisa disebut dapur kotor. Bau daging dimana-mana,sepertinya waktu aku keluar dari saluran air itu adalah tempat membersihkan ayam.
"Nama?" Aku bertanya tanpa tedeng aling-aling pada gadis pelayan itu sedangkan ponselku dikuping.
"Rea" Entah kenapa Nama itu 3 huruf saja namun cantik. Suaranya juga cantik. Ahh entahlah..
Aku melanjutkan urusanku dengan Galih. "Dibagian mana bomnya?"
"Menurut tersangka,bomnya di dalam laci wastafel krem."
"Didalam laci watafel krem" aku bergumam sambil mencari,namun Rea tentu saja langsung menemukannya. Dia mau membuka lacinya tapi untung kulihat.
"Wait! Wait! Wait! Gak boleh dibuka kayak gituuu.." Rea agak terkaget dan berhenti menurunkan tangannya dari laci itu,seakan-akan baru tersadar itu bom loh,bom atau dia takut dengan nada suaraku. Aku memasang kupingku pada laci krem itu dan mentup mataku. Aku takut bomnya tuas air raksa. Yang jika sedikit saja terkena guncangan,maka akan meledak.
Bunyi detik didalamnya. Kubuka pelan mengintip jenis apa bomnya. Yak bom yang sama sewaktu Nuril meninggal konyol. Bom yang sama di Hot Papper Resto. Bom tipe yang biasa saja. Aku yakin pelakunya awam soal bom. Bom beginian terlalu mainstream.
"Bomnya sama kak?" Tebakan Galih terlalu tepat. Aku baru tau ank itu agak jenius.
"Yaa. Lo Gak usah masuk. Biar gue yang jinakkin. Suruh tim gue cari pelakunya. Pasti dia ada lagi nonton ditengah2 masyarakat."
-

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm a daughter
AcciónAku polisi.. namun bagaimana jika tersangkaku adalah ayahku? Haruskah aku bertingkah seperti anak atau seperti polisi?