Aku mendapati gadis yang sangat sederhana duduk di kursi Cafe ini dengan gaya yang agak kaku. Sekali lagi,Harry tak cocok punya anak seperti ini. Bahkan dia sangat alim sepertinya. Mungkin karena jilbabnya dan tampang protagonisnya.
Aku datang dan menyapa nya. Tapi aku tak ingin juga menyentuhnya walaupun hanya berjabat tangan.
"Udah lama?" Tanyaku sopan sambil duduk didepannya.
"Baru juga" Suaranya bergetar. Dia nervous atau apa?
"Kita pesan dulu yaa?" Ajakku sambil beranjak dari kursi dan menuju kasirnya.
"Mbak,saya pesan kopi mocca" aku berpaling,kukira Sukma tak ikut tapi ternyata ada di belakangku.
"Aku...hmmm...greentea" Kata Sukma sambil pergi ke etalase yang penuh donat,mengambil nampan dan memilih Sus yang ditaburi gula diatasnya dengan penjepit dan Donat Cokelat. Dia menoleh kearahku menunggu aku memesan apa.
Aku juga mengambil donat Sus sama seperti dia dan meletakkan di nampan yang dia pegang. Aku mengambilnya dari tangan Sukma dan meletakkannya pada kasir untuk di letakkan pada piring.
***
Kami berdua duduk dan cukup hening bersamanya. Dibandingkan bersama Nina pasti ada saja yang ku bicarakan. Sukma memang agak pendiam dan terlihat kaku.Aku harus memulai pembicaraan,kalau tidak yaa kami akan begini sampai besok.
"Kamu anak keberapa pak Harry?" Dia menoleh dan matanya membulat. Sepertinya dia terkejut dengan pertanyaanku yang sepertinya lancang sebagai kaki-tangan.
Aku biasa saja menanggapi sikapnya.
"Apa yang.. membuatmu kemari?" Tanyanya hati-hati.
"Aku hanya datang memantau" jawabku santai
"Tapi ayah tak memberi tahu,kalau ada yang akan datang" Mampus. Harry selalu memberi tahunya kalau-kalau anak buahnya mau datang?
"Saya disuruh anak buahnya yang lain" Sekenanya alasan ini. Jika Sukma pintar,dia pasti tau aku bohong. Tapi ternyata tidak. Dia mengangguk mengerti. Mungkin Sukma terlalu polos untuk menyadarinya. Sangat berbeda dengan Nina,Nina akan secepatnya tahu jika kau berbohong.
"Aku juga sedang mengadakan survey untuk keluarga Harry. Jadi cukup jawab saja pertanyaanku." Kataku serius.
"Oke.." jawabnya ragu.
"Kamu anak keberapa?"
"Saya tunggal" Jawabannya cepat,lantang dan tanpa berpikir. Artinya dia jujur mengira anak tunggal.
"Ibumu? Aku tak pernah melihatnya"
"Dia sudah meninggal. Namanya Diah." Jawabnya dengan sedih. Atnosfernya berubah seketika. Diah? Bukannya ibu Nina namanya Nilam? Ahh mereka saudara tiri? Lain ibu?
***
Aku pulang kerumah sakit. Disana sudah tak ada Nina. Jelas saja. Pasti pak Ilyas menyuruhnya pulang. Tak berapa lama,ada Kiki dan Hendrik. Hendrik langsung duduk disampingku"Kita baru denger ibu Nina masuk rumah sakit." Celetuk Hendrik seakan mereka bakal dimarahi baru datang sekarang.
"Kami memang rahasiain. Dan bocor gara-gara salah satu polisi yang gak tau darima.."
"Lu dari dulu sotoy banget ya?!" Belum sempat kuselesaikan bicaraku,Kiki sudah memotong. Cara bicaranya masih dendam sepertinya soal Rea.
"Lu gak perlu bawa-bawa masalah pribadi kesini" Tegasku tanpa tedeng aling-aling.
"Woi bukan masalah pribadi! Lu bisa-bisanya sok jaga masalah segede ini. Ngapa? Lu mau dapet pujian sendirian?!" Wah.. semua orang berpikir begitu ternyata. Padahal ini keputusan pak Ilyas. Untuk merahasiakannya pada Nina. Otomatis pada siapapun.
"Kiki.. gue udah pusing. Lu jangan bikin gue jadiin lu pelampiasan buat di pukul" Ujarku pelan. Kiki malah mencengkram bajuku dengan satu tangan dan memojokkan ku. Aku memang lebih tinggi tapi kubiarkan dulu dia lakukan sesukanya.
"Lu pikir,dengan jadi mata-mata lu lolos?! Gue belum nonjok lu." Ucapan Kiki berdengung di telingaku. Tapi aku hanya menatapnya hampa.
"Manusia kayak lu,paling lu tidurin Rea ama Nina kelar." Berhasil. Kiki berhasil memprovokasiku. Aku tau itu ucapannya hanya memancing. Tapi entah kenapa,tanganku langsung saja menonjok wajah Kiki begitu keras. Hendrik refleks memegangku untuk menenangkanku. Tapi aku tak menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm a daughter
ActionAku polisi.. namun bagaimana jika tersangkaku adalah ayahku? Haruskah aku bertingkah seperti anak atau seperti polisi?